Krisis Sudan Akibat Para Penguasa Kapitalisme Global

Oleh: Qomariah (Aktivis Muslimah)

Situasi politik Sudan memang sangat pelik, hingga banyak pihak merasa pesimis konflik di sana bisa berakhir dengan baik. Alhasil, (15/4/2023) lalu, perang saudara yang besar malah pecah lagi. Yakni ketika dua kekuatan militer Sudan–Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin jenderal Abdel Fattah al-Burhan bentrok dengan (RSF) yang dikomandoi jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti). Padahal, dua tahun sebelumnya. yakni pada 2021, pasukan pemerintah dan para militer ini justru bekerja sama menumbangkan pemerintahan militer islamis Omar Al Bashir atas desakan masyarakat yang sudah terpapar propaganda global soal demokratisasi.

Banyaknya korban jiwa serangan kelompok milisi Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di Sudan dilaporkan terus melonjak. Angka kematian dilaporkan  mencapai 1.500 orang dalam tiga hari belakangan.

Aljazirah melaporkan, puluhan orang tewas dalam serangan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) ketika mereka baru-baru ini merebut kota el-Fasher di wilayah Darfur barat Sudan, menurut kelompok medis dan peneliti. RSF, yang berperang melawan militer Sudan untuk menguasai negara itu, menewaskan sedikitnya 1.500 orang selama tiga hari terakhir, ketika warga sipil mencoba melarikan diri dari kota yang terkepung, jaringan dokter Sudan mengatakan pada hari Rabu.

Kelompok tersebut, yang memantau perang saudara di negara tersebut, menggambarkan situasi tersebut sebagai “genosida yang nyata.”

“Pembantaian yang disaksikan dunia saat ini merupakan perpanjangan dari apa yang terjadi di el-Fasher lebih dari satu setengah tahun lalu, ketika lebih dari 14.000 warga sipil terbunuh akibat pemboman, kelaparan, dan eksekusi di luar hokum,” kata kelompok tersebut. Republika.co.id (Kamis, 30/10/2025).

Peristiwa di Sudan, adalah puncak krisis yang sudah berlangsung lama. Namun, beritanya baru viral karena tertutup isu Gaza, padahal situasinya tidak kalah mengerikan. Cara-cara yang dilakukan RSF dalam upaya genosida bahkan lebih brutal.

Selama pengepungan, 1,2 juta penduduk kota dibiarkan lapar dan bertahan hanya dengan memakan pakan hewan. Tidak sedikit kaum perempuan yang diruda paksa sebelum dibunuh bersama anak-anak mereka, sedangkan kaum laki-lakinya, tua maupun muda, disiksa dengan kejam, digantung di tempat-tempat umum, lalu ditembak secara massal. Semua itu sengaja mereka rekam dan videonya disebar ke seluruh dunia, begitu jahat dan liciknya kelompok RSF ini.

Sebenarnya krisis di Sudan ini adalah krisis buatan, yang berlangsung sejak lama. Persisnya sejak Inggris dan Mesir resmi menguasai wilayah ini dan membentuk pemerintahan bersama (kondominium), Britania Raya dan Mesir, yang dikenal sebagai Sudan Anglo-Mesir pada 1899. Bahwa itu pada masa kekhalifahan Utsmani, Sudan secara efektif termasuk dalam bagian dari wilayah ke gubernuran Mesir. Hal ini terjadi setelah pasukan Muhammad Ali Pasha, gubernur Mesir di bawah Usmani berhasil menaklukkannya pada 1820 — 1821.

Sedangkan sejak saat 1882, Inggris dengan kekuatan militernya berhasil menganeksasi Mesir dan mengambil alih kendalinya dari kekhalifahan Utsmani. Dan pada 1898, seorang tokoh agama yang anti imperialisme bernama Al Mahdi (Muhammad Ahmad) melakukan pemberontakan di Sudan. Namun, pasukan Inggris dan Mesir berhasil menumpas pemberontakan tersebut.

Sedangkan pada 1899, Inggris dan Mesir mendirikan pemerintahan bersama (kondominium) dengan nama Sudan (Anglo-Mesir) sejak itulah kondisi Sudan terombang-ambing di antara kepentingan kolonialisme Inggris dan kenaifan Mesir.

Dalam hal ini, Sudan sengaja ditinggalkan dengan status yang tidak jelas dengan berbagai masalah yang belum terselesaikan.

Alhasil, terjadilah gap ekonomi yang lebar antara Sudan bagian utara yang dihuni penduduk Arab- muslim, dan bagian Selatan yang berpendudukan lokal serta mayoritasnya beragama Kristen atau animis. Terlebih Inggris juga mendorong penggunaan bahasa Inggris dan memfasilitasi peran misionaris Kristen di Sudan bagian selatan untuk melakukan kristenisasi sekaligus merevitalisasi adat istiadat lokal Afrika.

Semua kebijakan ini jelas-jelas ditujukan untuk membatasi pengaruh agama, ekonomi, budaya dan politik Islam dari Utara. Akibatnya, kebijakan ini menciptakan jurang pemisah yang mendalam, baik dalam aspek politik, sosial, budaya, dan agama di antara kedua wilayah tersebut.

Ambisi Inggris untuk menguasai penuh Sudan sejatinya sangat mudah dipahami. yaitu; dengan tujuan ingin mengambil sumber daya alamnya yang melimpah ruah, dengan berbagai SDA seperti; cadangan minyak bumi, gas alam, dan emas yang sangat signifikan. Serta berbagai kekayaan mineral industrinya. Seperti; biji besi, tembaga, kromit, mangan, gypsum, seng, bahkan uranium.

Sudan juga memiliki lahan subur dan potensi besar di sektor pertanian. seperti;kapas, wijen, sorgum, dan milet, sampai-sampai sudah sempat dikenal sebagai “keranjang makanan.”

Inggris sebagai negara pengusung kapitalisme tentu tidak bisa menyembunyikan sifat rakusnya untuk menjajah dan menguasai seluruh potensi Sudan sendirian. Bahwa negara-negara Barat di bawah tekanan PBB (AS) yang ingin merebut posisi bentuk penjajahan berkamuflase dari yang tadinya bersifat fisik menjadi penjajahan yang bersifat politik dan ekonomi melalui pembentukan para penguasa boneka. Sehingga berbagai skenario dan menciptakan peran proxy yang dinarasikan sebagai “perang saudara” atau “perang antar etnik” di Sudan. Akhirnya menyebabkan perang saudara berkepanjangan.

Situasi politik Sudan memang sangat pelik hingga banyak pihak merasa pesimis, bahwa konflik di sana bisa berakhir dengan baik. Alih-alih selesai, pada 15/4/2023 lalu, perang saudara yang besar malah pecah lagi, yakni ketika dua kekuatan militer Sudan –Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) yang dipimpin jenderal Abdel Fattah al-Burhan bentrok dengan RSF yang dikomandoi jenderal Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti). Padahal, dua tahun sebelumnya, yakni pada 2021, pasukan pemerintah dan para militer ini justru bekerja sama menumbangkan pemerintahan militer islamis Omar al-Bashir atas desakan masyarakat yang sudah terpapar propaganda global soal demokratisasi.

Namun, di balik itu semua, sesungguhnya ada alasan lain yang berkelindan dalam konflik, yakni perebutan kendali atas sumber – sumber emas dan sumber daya lain di berbagai wilayah Sudan.

Terhitung sejak konflik meletus hingga penyerangan pangkalan militer Al – Fasher di Darfour (26/10/2025) lalu, Sudan lebih dari 150.000 warga tewas dan 12 juta orang mengungsi. Sampai-sampai PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan dan pengungsian terbesar di dunia.

Isu ini telah menyeret nama beberapa negara yang diduga sudah lama terlibat dalam berbagai konflik. Antaranya adalah UEA, Saudi, Mesir, bahkan Zion*s Israel. Hanya saja, meski pemberitaan soal keterlibatan UEA dan Israel begitu santer akhir-akhir ini, tetap saja tidak bisa menghapus fakta bahwa AS -lah pemain utamanya.

Maka dari itu, adapun skenario ini adalah pemisahan Sudan Selatan dari Utara, target konflik ini adalah memecah lagi wilayah Sudan yang tersisa dengan garis timur dan barat sehingga wilayah Darfour (Sudan bagian barat), terpisah dari Karthoum (Sudan Utara). Dengan cara ini makin lemahlah umat Islam di Sudan.

Melihat kondisi dan konflik di Sudan tak ada bedanya seperti di Gaza saat ini, mereka mengalami penderitaan luar biasa, ketakutan dan kesakitan luar biasa, mereka minta tolong kepada umat muslim diberbagai penjuru dunia. Mereka Nyaris putus asa, berharap pada para penguasa muslim dunia yang hanya peduli pada kursi kekuasaannya. Apalagi para penguasa Arab yang jelas-jelas setelah mengkhianati mereka, yakni dengan cara bersekongkol bersama negara imperialisme barat, yang justru telah mengobok-obok kehidupan mereka.

Dunia dan umat Islam selama ini, telah dibodoh-bodohi dengan propaganda krisis Sudan, sebagai konflik etnis atau perang saudara. Alhasil, mereka begitu tega membiarkan rakyat sudan menderita dalam jangka waktu yang sangat lama hal ini adalah akibat bercokolnya nasionalisme yang dicekokkan oleh penjajah kepada mereka. Hingga solidaritas seagama pun nyaris hilang tidak bersisa. padahal, faktanya krisis Sudan adalah skenario licik negara adidaya yang melibatkan negara -negara boneka dan antek lainnya.

Hampir setiap wilayah muslim Afrika, bukan cuma Sudan yang menjadi perebutan politik dan perampokan SDA nya. Inilah Potret umat Islam di bawah cengkraman kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme global. Mereka menjadi korban kerakusan negara-negara adidaya, dan dipecah belah atas nama negara bangsa dengan para penguasa bonekanya. Lalu mereka pun dijauhkan dari identitas Islam yang sejatinya menjadi kunci kemuliaan dan kebangkitan mereka. Bahkan mereka dicekokin narasi bahwa Islam adalah sumber penderitaan dan keterpecahbelah.

Islam adalah sistem yang sahih, umat Islam adalah umat yang kuat dan digdaya. Selama belasan abad mereka dipersatukan oleh satu kepemimpinan oleh seorang (Khalifah) yaitu, didalam sistem Islam (khilafah islamiyah). Nyaris 2/3 dunia ada di bawah naungannya. Rakyatnya hidup makmur dan sejahtera.

Tentu khilafah tidak akan tegak dengan sendirinya, meski keberadaannya telah dijanjikan. Khilafah harus diperjuangkan dengan penuh kesungguhan, sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah mencontohkan. Caranya dengan mengajak umat memahami Islam Kaffah, dengan kesadaran di tengah umat tanpa kekerasan, baik tentang kesempurnaan Islam, mulai dari konsep keimanannya dan hukum-hukumnya serta tentang bagaimana hukum-hukum itu bisa diterapkan dan mensolusi berbagai persoalan kehidupan hingga terwujud rahmat bagi seluruh alam.

Menegakkan jihad fi Sabilillah melalui dakwah, dengan secara berjamaah. Bahwa manusia adalah umat terbaik, untuk mendakwahkan dan mengajak yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.

Allah SWT berfirman;” Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS Ali Imran: 110). Wallahu a’lam bishawwab.