Generasi Muda Takut Nikah: Luka Ekonomi Kapitalisme

Oleh: Nazriah (Aktivis Remaja)

Setiap generasi memiliki pandangan yang berbeda. Generasi dahulu perihal pernikahan mereka memiliki pandangan bahwa menikah adalah bukti kedewasaan dan kebutuhan setiap orang, mereka justru takut apabila telat menikah sehingga memiliki perspektif untuk menikah menentukan maksimal umur dan generasi dahulu juga apabila tidak menikah ia akan merasa malu. Berbeda dengan generasi sekarang yang memiliki pandangan bahwa mereka lebih takut miskin daripada takut tidak menikah.

Dilansir dari www.kompas,com (2025, 22 November), angka pernikahan di Indonesia turun drastis sejak 2023. Seorang pemuda mengaku takut miskin dan takut tidak menikah, namun ia merasa lebih takut miskin. Menurutnya, keinginan menikah itu ada tetapi bagi pria perekonomian menjadi hal sensitif untuk melangkah ke jenjang pernikahan.

Banyak anak muda sekarang menilai kestabilan ekonomi itu lebih penting daripada menikah. Mereka beranggapan bahwa materi adalah nomor satu yang harus diperoleh untuk memenuhi gaya hidupnya yang hedonisme, komsumtif, dan impulsif membuat mereka sibuk dalam mencari materi. Dengan ekonomi yang stabil mereka lebih bahagia daripada menikah.

Adapun beberapa di antaranya hal yang menyebabkan mereka takut menikah karena lonjakan harga kebutuhan yang terus meningkat, biaya hunian yang mahal, dan ketatnya persaingan kerja menjadi hal yang utama. Kita ketahui bahwasannya setiap tahun harga suatu kebutuhan semakin meningkat, untuk mencari tempat tinggal pun biaya tidak murah, dan berkerja merupakan suatu hal yang penting.

Apalagi memperdayaan perempuan yang terus meningkat dan tekat perempuan yang lebih ingin mencari uang sendiri daripada bergantung pada orang lain membuat mereka lebih nyaman sendiri dan menikmati uang hasil kerjanya. Merasa ia mampu mencari uang sendiri, segala hal bisa dilakukan sendiri atau yang biasa kita sebut wanita independen sehingga beranggapan bahwa tidak perlu menikah untuk menikmati segalanya dan bahagia.

Padahal sejatinya perempuan itu tidak ada yang independen, mereka tetap butuh seorang pemimpin untuk mengarahkan hidupnya. Berkerja bagi perempuan juga merupakan suatu yang yang mubah tidak diwajibkan, perkerjaan yang mubah pun harus sesuai dengan syariat Islam tetapi wanita zaman sekarang tidak memikirkan pekerjaan yang halal asalkan mendapat uang. Laki-laki juga ketika ia merasa ekonomi belum stabil sehingga ia beranggapan belum mapan belum pantas menikah, dan uang adalah hal utama untuk kebahagiaan.

Narasi “marriage is scary” memperkuat ketakutan akan menikah. Istilah ini viral di media sosial yang mencerminkan ketakutan, kecemasan, dan keraguan generasi muda terhadap pernikahan karena tanggung jawab yang besar, potensi masalah rumah tangga, perubahan hidup, dan melihat kegagalan pernikahan orang lain. Istilah ini menjadi hal penting yang perlu dipertimbangan generasi muda saat mau menikah.

Adanya berita-berita yang didapat dari sosial media baik itu tentang KDRT, perselingkuhan, perceraian, kesulitan proses melahirkan, kegagalan pernikahan dan masih banyak lainnya yang membuat generasi sekarang takut menikah. Mereka beranggapan sendiri lebih aman, padahal menikah adalah suatu kebutuhan dan merupakan ibadah dalam Islam.

Manusia diciptakan tentunya dengan memiliki banyak kebutuhan, salah satunya yaitu kebutuhan untuk menyukai seseorang dan melestarikan keturunan. Meskipun ini bukan suatu kebutuhan yang bersifat mendesak alias bisa ditunda, tetapi ini merupakan suatu kebutuhan yang perlu kita penuhi jika tidak dipenuhi berpotensi gelisah.

Gelisah bisa menyebabkan seseorang melakukan hal tercela untuk menghilangkan kegelisahannya. Akibat dari tidak menikah, mereka bahkan melakukan pencabulan dan pelecehan, menyewa lc, ketempat club malam untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Padahal dalam Islam, itu merupakan suatu hal yang haram dan dilaknat Allah SWT, jelas terdapat dalam QS. Al-Isra’ ayat 32 yang menyatakan bahwa Allah swt melarang mendekati zina, mendekati saja dilarang apalagi jika melakukannya.

Ketakutan akan miskin merupakan hasil dari sistem kapitalisme yang membuat biaya hidup tinggi, pekerjaan sulit, dan upah rendah. Semua harga kebutuhan mahal, tidak adanya lapangan pekerjaan dan gaji yang rendah merupakan bukti penerapan sistem kapitalisme.

Negara sebagai regulator cenderung lepas tangan dan tidak peduli dalam menjamin kesejahteraan rakyat sehingga beban hidup dipikul individu masing-masing. Gaya hidup yang materialis dan hedonism tumbuh dari pendidikan sekuler dan pengaruh dari media liberal. Sehingga beranggapan bahwa uang adalah hal yang utama dan harus didapat, sistem kapitalisme saat ini juga menerapkan semua hal harus didapatkan dengan uang.

Pernikahan dianggap sebagai beban, bukan sebagai ladang kebaikan untuk melestarikan keturunan. Padahal dengan menikah adalah hal yang benar untuk memenuhi kebutuhan melestarikan keturunan daripada melakuka hal tercela. Dengan menikah pula bisa menyempurnakan agama dan sebuah ibadah yang tentu ganjarannya pahala.

Seharusnya negara menjamin kebutuhan dasar rakyat dan membuka lapangan pekerjaan yang luas melalui penerapan sistem ekonomi Islam. Kebutuhan dasar rakyat dan lapangan pekerjaan adalah kewajiban negara untuk memenuhinya. Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara, bukan swasta/asing, sehingga hasilnya kembali untuk kesejahteraan rakyat dan mampu menekan biaya hidup.

Pendidikan berbasis aqidah juga merupakan hal yang penting untuk diterapkan agar membentuk generasi berkarakter, tidak terjebak dalam hedonisme dan materialisme. Mereka justru akan menjadi penyelamat umat dimasa mendatang, bukan menjadi generasi penghancur masa depan. Juga perlu adanya penguatan institusi keluarga, dengan mendorong pernikahan sebagai ibadah dan penjagaan keturunan bukan dianggapa sebagai sebuah beban.

Dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara menjamin kebutuhan dasar rakyat, membuka lapangan pekerjaan yang luas, pendidikan berlandaskan aqidah, dan penguatan institusi keluarga akan membuat rakyat hidup sejahtera dan tentu mengurangi manusia dari perbuatan tercela. Wallahu a’lam bisshawab.