Securitynews.co.id, PALI- Terkait peristiwa pemakaian tanah tanpa izin oleh pihak pelaksana kegiatan seismik 3D Abab PT DAQING CITRA PETROLEUM (DCP) yang bergulir sejak penghujung tahun (2022) lalu, Edi Yanto warga Pengabuan Kecamatan Abab Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) tetap meminta pembayaran ganti kerugian terlebih dahulu.
Hal ini dijelaskannya terkait dasar dirinya melakukan penyetopan kegiatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan terhadap tahapan pelaksanaan survei seismik Pasal 35 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
Pasal 35, huruf b UU MIGAS tersebut berbunyi: dilakukan terlebih dahulu penyelesaian atau jaminan penyelesaian yang disetujui oleh pemegang hak atas tanah atau pemakai tanah di atas tanah negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. “Jelas-jelas saya tidak memberikan izin pada perusahaan untuk berkegiatan sebelum mereka menyelesaikan pembayaran atau memberikan jaminan pembayaran, hal ini sudah diketahui perusahaan sebagaimana isi blangko kordinasi tanggal 8 Februari 2023, dan blangko itu mereka yang buat namun mereka sendiri yang ingkar,” tegasnya.
Wartawan media ini sempat melakukan peninjauan lokasi kegiatan seismik yang tak jauh dari pemukiman warga dan telah meverifikasi informasi terkait kepada sumber-sumber kredibel.
Dalam tinjauan tersebut, benar terdapat tanda-tanda adanya aktivitas rintisan jalur dan pembuatan titian/jembatan darurat yang terbuat dari kayu yang diduga dilakukan PT DCP. Terdapat pula tanda pita orange dan biru muda yang lazim digunakan sebagai penanda lintasan pekerjaan survei seismik.
Kepala Desa Pengabuan Timur Ivei Sastra membenarkan dirinya mengetahui bahwa Edi Yanto belum/tidak mengizinkan kegiatan seismik dilakukan di atas lahan miliknya. Hanya saja Kepala Desa separuh baya ini belum tahu persis dan memastikan titik lokasi mana yang menjadi persoalan tersebut. “Silakan Edi Yanto melakukan upaya-upaya hukumnya sejauh itu ada aturannya. Saya hanya ingin mengingatkan bahwa dalam persoalan ini Edi Yanto harus memiliki alas hak atau bukti kepemilikan yang sah,” terang Ifei di kediamannya, Senin (13/03/2023).
Sementara itu, Adv. Hendro Saputra, SH selaku Divisi Hukum Ormas Pemuda Pancasila (PP) sangat menyayangkan kejadian tersebut dan angkat bicara menyikapi persoalan pemakaian tanah tanpa izin ini. “Seharusnya perusahaan menghormati hak-hak tanah masyarakat adat setempat dan taat aturan, pelan-pelan gejolak sosial sudah mulai terlihat. Apabila kejadian ini terus dibiarkan berlarut, Ormas Pemuda Pancasila akan siap mengawal kepentingan masyarakat terhadap hak-haknya yang yang tidak dipenuhi oleh perusahaan,” terang Hendro yang ikut meninjau lokasi sore itu.
Ditambahkan Hendro bahwa sudah sepantasnya dan seharusnyalah perusahaan melakukan pembayaran terlebih dahulu atau memberikan jaminan penyelesaian sebagaimana diatur Undang-Undang. “Bayar saja, karena aturannya sudah jelas. Apa yang dituntut Edi Yanto tidak muluk-muluk dan bahkan harganya juga di bawah ketentuan harga yang dipedomani (Pergub Sumsel 40/2017, Red). Setahu saya untuk tanam tumbuhnya, Edi minta dihitung seharga Rp. 10.000 perbatang, lebih rendah Rp. 5.000 dari ketentuan Pergub yang menyebutkan harga Rp. 15.000. Toh perusahaan memang melakukan kegiatan di atas lahan milik Edi dan telah menggunakan tanam tumbuh di sekitar lahan tersebut, parahnya lagi perusahaan hanya akan mengganti tanam tumbuh Edi Yanto senilai Rp. 1.000 per batang,” jelas Hendro sore itu mengenakan baju kebesaran Ormasnya.
Terpisah, Ketua GKJI Sumsel; Lius Eka Brahma Saputra, SH., M.Kn. sebagai penerima kuasa persoalan ini masih melakukan penelitian dokumen dan pendalaman materi persoalan. “Kami masih berkoordinasi dengan tim advokad GKJI, dan dalam waktu dekat akan ke lokasi untuk cek TKP seraya berkoordinasi dengan APH dan Pemerintah setempat,” terang Lius singkat via ponselnya.
Hingga berita ini dimuat, wartawan belum bisa menghubungi pihak perusahaan selaku pelaksana seismik.
Laporan : A, Chandra
Editing : Imam Gazali