Tambang Gagal Kelola, Siapa yang Nambang Siapa yang Nanggung?

Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang

Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia untuk menertibkan seluruh kegiatan pertambangan, baik di kawasan hutan lindung maupun tambang ilegal. Langkah ini, menurut Presiden, penting agar negara tetap memperoleh pendapatan negara tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan. Hal tersebut diungkapkan Bahlil saat bertemu media di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (22/8).

“Kemarin Presiden memanggil mendadak sejumlah Menteri ke Hambalang untuk membicarakan beberapa hal antara lain, hilirisasi dan kontribusi sektor pertambangan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 15% dari total penerimaan negara yang terdiri dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Sektor pertambangan menjadi andalan pendapatan negara,” ujar Bahlil.

Dalam pertemuan tersebut, sambung Bahlil, Presiden menegaskan perlunya penataan dan penertiban seluruh aktivitas pertambangan agar tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Komitmen untuk menindak tegas pertambangan ilegal juga sebelumnya telah disampaikan Presiden Prabowo dalam Pidato Kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD (Kementrian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Jumat, 22/10/2025).

Sejatinya, pengelolaan tambang yang merugikan negara tidak sebatas disebabkan oleh aktivitas tambang ilegal. Pemberian izin pengelolaan tambang kepada pihak-pihak yang tidak punya kapasitas atau keahlian juga turut andil dalam kerugian tersebut. Yang menjadi masalah, pemerintah telah resmi membuka peluang bagi koperasi, ormas, hingga UMKM untuk mengelola wilayah usaha pertambangan.

Sejatinya pihak yang mampu mengelola tambang adalah mereka yang memiliki modal besar. Selain itu, SDA tambang adalah aset negara/rakyat sehingga semestinya pengelolaannya di bawah kendali negara, bukan individu/swasta. Sedangkan hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat, bukan hanya untuk pihak dan pemilik kepentingan tertentu. Lagi-lagi karena demikian adanya, wajar jika mengakibatkan kerugian negara.

Sayang, ada saja kalangan masyarakat yang apatis. Mereka enggan berpikir kritis, bahkan sudah menyerah sebelum berjuang. Sedangkan dampak dari kapitalisme adalah sistemis, tidak hanya menimpa satu, dua, atau sekelompok orang. Kita harus sadar, kapitalisme meniscayakan segelintir orang yang mendapatkan keuntungan, tapi masyarakat satu negeri yang tertimpa kemalangan jangka panjang.

Sungguh, masyarakat harus sadar bahwa sistem kapitalisme adalah sistem yang rusak dan merusak. Kian hari para oligarki kapitalis menjadi penikmat cuan kapitalisasi, padahal tambang itu sejatinya aset milik rakyat. Aset rakyat dibiarkan bagai barang terbengkalai, sedangkan nasibnya hanya digantungkan pada kucuran bansos dan program-program receh. Realitas miris ini tidak selayaknya terus terjadi. Untuk menghentikan sistem kapitalisme yang batil, satu-satunya solusi adalah menggantinya dengan sistem yang sahih, yakni sistem Islam.

Dalam pandangan Islam, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Dasarnya antara lain hadis Nabi saw. yang dituturkan oleh Abyadh bin Hammal ra.. Disebutkan demikian : أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ

“Sungguh ia (Abyadh bin Hammal) pernah datang kepada Rasulullah saw.. Ia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberian konsesi atas tambang garam itu dari Abyadh.” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi).

Hadits ini memang berkaitan dengan tambang garam. Namun demikian, ini berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah usul : العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَفْظِ، لاَ بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Patokan hukum itu bergantung pada keumuman redaksi (nas)-nya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya.” (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125).

Berdasarkan hadis di atas, tambang apa pun yang menguasai hajat hidup orang banyak atau jumlahnya berlimpah—tidak hanya tambang garam, sebagaimana dalam hadis di atas—haram dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam pengelolaannya, lalu hasilnya diberikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Dengan pengelolaan berdasarkan syariat Islam, potensi pendapatan negara dari harta milik umum, khususnya sektor pertambangan, sangatlah besar.

Negara ini harus diatur oleh syariat Islam. Bukan oleh aturan-aturan dari ideologi kapitalisme sebagaimana saat ini yang memberikan keleluasaan sedemikian rupa kepada pihak swasta/asing dalam menguasai sebagian besar harta kekayaan milik umum, di antaranya aneka tambang yang sangat berlimpah di negeri ini. Selain itu, hukuman yang tegas sesuai ketentuan syariat Islam terhadap para koruptor—khususnya yang melakukan korupsi atas harta kekayaan milik umum (rakyat)—wajib ditegakkan.

Oleh karena itu, penerapan syariat Islam dalam pengaturan negara ini di segala bidang kehidupan, khususnya di bidang ekonomi, khususnya lagi dalam pengelolaan sumber daya alam milik umum, harus segera diwujudkan. Sebabnya jelas, Allah Swt. telah memerintahkan semua muslim—tanpa kecuali—untuk mengamalkan syariat Islam secara menyeluruh (kafah) sebagaimana firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara menyeluruh dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian.” (QS Al-Baqarah [2]: 208). WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.

mgid.com, 522927, DIRECT, d4c29acad76ce94f google.com, pub-2441454515104767, DIRECT, f08c47fec0942fa0