Oleh: Adelusiana
Krisis Sudan kembali membara. Ribuan orang mengungsi, pembunuhan massal dan pemerkosaan terus terjadi dan semakin mengerikan. Dikutip dari – El-Fasher, MINA — kondisi kemanusiaan di El-Fasher, ibukota negara bagian Darfur Utara semakin mengkhawatirkan setelah lebih dari 62.000 warga mengungsi hanya dalam waktu empat hari terakhir, yaitu antara 26 hingga 29 Oktober.
Laporan dari International Organization for Migration (IOM) menyebutkan bahwa setidaknya 62.263 orang meninggalkan El-Fasher dan wilayah sekitarnya setelah kota ini direbut oleh Rapid Support Forces (RSF). Pada 29 Oktober saja tercatat sekitar 26.080 pengungsi, (2/11/2025).
Perang Sudan sejatinya bukan sekedar perebutan kekuasaan antara ASF atau angkatan bersenjata Sudan dan RSF. Konflik ini terjadi karena ada campur tangan asing dan aktor utama konflik ini adalah Amerika Serikat (AS) dan Inggris. Kedua negara ini memainkan peran melalui duta besar dan utusan mereka dengan menghubungkan para antek dan lapangan baik dari kalangan politisi, organisasi sipil, maupun pemimpin militer.
Burhan di ASF dan Hemedti di RSF hanyalah pion dalam skenario besar mereka. Sejak awal perang, media pendukung ASF menggiring opini publik bahwa pertempuran akan berakhir dalam hitungan jam. Mereka menegaskan bahwa angkatan udara ASF akan menyelesaikan para pemberontak sehingga publik yakin ASF tidak terlibat langsung di medan perang. Narasi ini dimaksudkan untuk menciptakan legitimasi moral dan mengendalikan persepsi rakyat. Bahkan evakuasi warga dilakukan dengan mempercepat operasi militer, bukan untuk melindungi mereka.
Sebaliknya, media pendukung RSF memainkan isu kesukuan dan sektarian untuk memobilisasi dukungan. Mereka menyebarkan disinformasi, memutarbalikkan fakta, dan menutupi kepentingan asing di balik konflik. Tidak ada satupun media ini mengungkap bahwa perang Sudan merupakan perebutan pengaruh antara Amerika dan Inggris. Mereka juga menutupi fakta pertemuan berulang antara pemimpin ASF dan RSF dengan diplomat dan pejabat tinggi Amerika serikat sebelum pecahnya perang.
Amerika Serikat menjadi pihak pertama yang diuntungkan dari perang ini. Konflik antara ASF dan RSF sejatinya adalah pertarungan antaragen militer yang sama-sama berada dalam pengaruh Washington. Dengan pecahnya perang, Amerika Serikat berhasil melemahkan dan menjauhkan pengaruh agen-agen sipil yang lebih dekat dengan Inggris yang sebelumnya hampir memonopoli kekuasaan politik di Sudan.
Bagi militer Sudan sendiri, perang ini menjadi sarana untuk menata ulang politik mereka. Kekacauan besar akibat perang membuat publik melupakan dosa-dosa masa lalu militer seperti kudeta, represi, dan pelanggaran lainnya. Dalam situasi itu, militer berupaya membangun citra baru sebagai penyelamat bangsa, mendapatkan kembali kehormatan dan legitimasi yang telah lama hilang.
Amerika sendiri mengklaim bahwa tidak terlibat dalam perang Sudan. Sementara Presiden Mesir Abdul Fattah Al-Sisi menegaskan bahwa konflik tersebut adalah masalah internal Sudan dan tidak boleh ada pihak luar yang ikut campur. Namun faktanya Amerika Serikat justru menjadi pihak yang paling aktif mengatur gencatan senjata. Sepanjang perang, Amerika Serikat memprakarsai sedikitnya tujuh kali gencatan senjata. Amerika menjadikan perang Sudan sebagai alat untuk membentuk tatanan baru di negara itu. Tujuannya jelas menyingkirkan pengaruh Eropa khususnya Inggris dan menjaga kendali melalui agen-agennya di kedua kubu.
Sedangkan penderitaan rakyat seperti pembunuhan, pengusiran pemerkosaan, dan penjarahan tak menjadi pertimbangan. Hal ini tampak dalam poin ke-7 KTT Kairo yang menegaskan upaya Amerika Serikat menjauhkan warga sipil dan agen Inggris dari kekuasaan setelah mereka menyetujui draft perjanjian politik. Dengan demikian, perang ini berfungsi untuk menggagalkan dominasi sipil pro Inggris dan mempertahankan kekuasaan di tangan militer sekutu Amerika.
Amerika Serikat (AS) menggunakan berbagai cara untuk mempertahankan posisinya sebagai kekuatan global. Bahkan Amerika Serikat memberikan sanksi terhadap negara atau rezim yang dianggap mengancam pengaruhnya bahkan terhadap anteknya sendiri.
Karena itu, umat Islam harus dinaikkan level berpikirnya agar mampu membaca seluruh problem dunia dalam kacamata ideologis, bukan sekedar isu politik atau konflik kekuasaan semata. Umat perlu menyadari bahwa perang, ketidakadilan dan krisis global hari ini merupakan bagian dari pertarungan ideologis antara Islam dan kapitalisme.
Hanya dengan pandangan yang jernih dan berpijak kepada aqidah, umat akan memahami bahwa solusi sejati bukanlah kompromi dengan sistem sekuler melainkan kembalinya kehidupan Islam di bawah naungan khilafah. Khilafah akan memulihkan keadaan menjadi normal kembali dengan cara hidup islami. Menjadikan kekuasaan sebagai amanah, bukan rampasan. Ia akan menghapus segala bentuk hegemoni asing yang selama ini merampas kekayaan negeri-negeri muslim dan menjajah di berbagai bidang.
Dengan sistem ini, kepemimpinan berfungsi sebagai pelindung dan pengatur urusan umat bukan alat untuk menindas. Allah SWT berfirman: “dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107). Ayat ini menegaskan bahwa rahmat dan keadilan global hanya akan terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah.
Kesadaran ini harus menumbuhkan dorongan iman bagi umat untuk menghadirkan kembali khilafah sebagai sistem yang menyatukan negeri-negeri Islam dan melindungi seluruh umat manusia dari penindasan. Sejarah pun telah membuktikan bahwa khilafah mampu menjamin perdamaian dunia selama berabad-abad, menegakkan keadilan melindungi minoritas, serta mengatur hubungan antar negara dengan prinsip kemanusiaan dan kemuliaan. WAllahu a’lam bi ash-shawaab.










