Oleh: Qomariah (Aktivis Muslimah)
Beban berat rakyat dalam memenuhi pungutan pajak merupakan konsekuensi atas diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme.
Menteri keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam acara sarasehan nasional ekonomi syari’ah refleksi kemerdekaan RI 2025.(Rabu 13/8/2025).
Dalam pidatonya, Sri Mulyani mengatakan kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. pasalnya, ketiganya memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. “Pada dasarnya mereka yang mampu harus menggunakan kemampuannya, karena di dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain.” CNBCIndonesia (14/8/2025).
Menkeu Sri Mulyani mengatakan kewajiban pajak sama dengan zakat dan wakaf, pernyataan ini bertujuan untuk mengenjot penerimaan pajak yang sedang seret. Sebab pajak masih menjadi tumpuan pemasukan APBN.
Sri Mulyani pun mengatakan, untuk membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan pajak yang baik, pajak yang optimal, menurutnya merupakan modal terciptanya kesejahteraan. Inilah yang menjadikan Ditjen pajak melakukan berbagai cara untuk menarik pajak dari rakyat. Mulai dari menaikkan nominal pajaknya hingga perluasan jenis barang yang dikenakan pajak.
Bahkan pemerintah mencari objek pajak baru dari rakyat kecil. Seperti; pajak warisan, karbon, rumah ketiga, dll. Sedangkan pajak yang sudah ada tarifnya, dinaikkan berkali-kali lipat. Seperti; PBB.(Pajak Bumi Bangunan).
Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan ini sejatinya menunjukkan peningkatan pungutan atas rakyat. Sudahlah penghasilan tidak menentu, rakyat masih harus dibebani pungutan pajak yang makin hari nominalnya makin besar, dan jenisnya makin banyak. Bahkan pemerintah tetap saja bersikukuh dengan narasinya, bahwa pungutan pajak adalah demi kemajuan bangsa.
Sebaliknya, pada saat yang sama mayoritas rakyat kesusahan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya kian melambung, tingginya harga kebutuhan pokok pun tidak bisa dilepaskan dari pajak. Dalam hal ini, sebagai contohnya adalah kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN), yaitu pajak yang dikenakan kepada perusahaan yang menjual produk atau jasa.
Beban berat rakyat dalam memenuhi pungutan pajak merupakan konsekuensi atas diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme. Inilah potret buram pemerintahan demokrasi kapitalisme, besarnya pungutan pajak atas rakyat merupakan bentuk kezaliman yang nyata. Pemerintah yang seharusnya mengurusi umat dan memberikan fasilitas hidup yang layak, nyatanya malah sebaliknya.
Sedangkan pajak dalam Islam, tidak menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Pajak (Dharibah), adalah pajak yang dipungut hanya kepada warga kaya laki-laki saja. Warga yang tidak memiliki kelebihan harta, yang dengan kata lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja pas-pasan, tidak akan ditarik pajak.
Pajak (Dharibah) bagi negara Islam (Khilafah) bukanlah sumber pemasukan utama, bahkan negara akan sangat jarang menggunakan pajak sebagai sumber pendapatan. Sebab penerimaan Baitul mal yang begitu besar dan banyak berasal dari sumber selain pajak, dan jika dioptimalkan jumlahnya akan sangat melimpah.
Adapun sumber pemasukan di sistem Islam (Khilafah).
Pertama, dari anfal, ghanimah, fa’i, dan khumus.Penjelasannya sbb;
Anfal dan ghanimah adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari harta orang kafir, melalui perang di medan pertempuran. Seperti; uang, senjata artileri, barang dagangan, bahan pangan, dll.
Harta Fa’i adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir tanpa pengerahan pasukan dan tanpa melalui peperangan.
Khumus adalah 1/5 yang diambil dari ghanimah, seluruh harta ini dapat diperoleh jika terjadi peperangan dengan negara kafir harbi.
Kedua; Kharaj adalah hak atas tanah bagi kaum muslim yang diperoleh dari orang kafir baik lewat peperangan maupun perjanjian damai.
Ketiga, Jizyah adalah hak kaum muslim yang diberikan Allah SWT dan orang-orang kafir sebagai tanda ketundukan mereka kepada Islam. Jizyah berhenti dipungut saat orang kafir tersebut masuk Islam.
Keempat, harta milik umum adalah harta yang ditetapkan kepemilikannya oleh Allah SWT. Dan Rasul-Nya bagi kaum muslimin dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama.
Harta milik umum ini meliputi, minyak bumi, gas alam, tambang emas, uranium,, batubara, biji besi, hutan, laut, perairan, dan kekayaan alam lainnya.
Hanyalah sistem Islam (Khilafah), sistem yang Hakiki sudah selayaknya kita kembali kepada syari’at Nya secara Kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah islamiyah, keadilan dan kesejahteraan masyarakat akan benar-benar terwujud. Insya Allah. Wallahu a’lam bishawab.







