Oleh: Rima Liana
Arus deras informasi digital adalah tantangan generasi muda saat ini. Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menyoroti meningkatnya keterlibatan anak dalam aksi demonstrasi. Ia menilai, usia remaja yang dikenal sebagai masa kritis dalam berpikir seharusnya mendapat ruang penyaluran yang aman, bukan justru terseret ke jalanan.
Derasnya arus informasi digital juga menjadi salah satu pintu masuk utama anak ke aksi massa.
Sebagai pengguna terbesar media sosial, anak-anak mudah menerima ajakan melalui pesan langsung (DM) atau terpancing isu yang viral. (liputan6.com.Jakarta 05/09/2025)
Tingginya tingkat screen time dalam bermedia sosial bisa berpotensi melalaikan generasi muda dari peran nyata kehidupan. Generasi muda yang banyak menghabiskan waktu dalam bermain gadget memang akan cenderung terfokus pada dunia mereka sendiri dan mengabaikan keadaan sekitar mereka. Namun demikian mereka juga tak segan untuk langsung mengambil tindakan secara nyata lantaran mudah terpancing dari arus media sosial yang dimainkan.
Pada faktanya jebakan dunia maya dalam algoritma seringkali menyasar pada generasi muda. Algoritma kerap kali disetel untuk menaikan konten yang ringan, bersifat hiburan, emosional, dan berorientasi konsumen. Tujuannya tak lain supaya penggunanya bisa berlama-lama menghabiskan waktu dan tak bisa lepas lagi dari layar. Sehingga dengan itu mereka akan mudah terpengaruh dan hanyut pada permainan algoritma yang sebenarnya membuat mereka bisa kehilangan jati diri sendiri.
Semenjak sosial media menjadi pusat dari digitalisasi, generasi muda adalah pasar potensial bagi produk-produk digital karena mereka tumbuh dan hidup berdampingan langsung dengan teknologi. Dunia digital bukan lagi hal baru, tapi sudah jadi bagian dari keseharian mereka. Generasi muda juga lahir di era internet, smartphone, dan media sosial. Sehingga mereka terbiasa menjalani hal-hal yang disuguhkan dari dalam gadget lewat berbagai aplikasi. Bahkan, edukasi Ini membuat mereka cepat menerima produk digital baru tanpa banyak adaptasi.
Dampak yang bisa dirasa dari hal ini yaitu seluruh konten digital kini menjadi tabungan informasi dan bisa mengendalikan cara berpikir mereka, termasuk cara pandang mereka mengenai kehidupan. Ide-ide sekuler dan liberal yang bertengger di sosial media semakin banyak dan deras, generasi muda pun sampai tak menyadari hal bahaya tersebut. Dalam situasi seperti inilah butuhnya benteng pertahanan yang bisa menguatkan pemikiran generasi muda terkait berbagai konten yang tersedia.
Generasi muda harus membenahi cara pandang mereka dan mengganti dengan cara pandang yang shahih, yakni bersumber dari Allah, bukan yang lain. Artinya mereka harus bisa memfilter berbagai konten yang masuk di sosial media mereka, apakah itu sesuai dengan ideologi islam, ataukah justru dari ide barat? sehingga dengan begitu arus digitalisasi menjadi tempat mereka mengenal islam bukan malah menjauhkan dari Islam.
Allah SWT telah memberikan potensi pada generasi muda sebagai makhluk Allah yang memiliki gharizah, hajatul udhawiyah dan akal. Dengan potensi inilah mereka dituntut untuk mengerahkan seluruhnya pada islam. Sosial media yang ada hari ini harus membawa mereka menyuarakan islam di tengah-tengah umat. Tentunya semua ini tak lepas dari lingkungan nyata yang kental dengan suasana keimanan dan dukungan penuh dari semua elemen, baik keluarga, masyarakat, partai politik ideologis bahkan negara sebagai power.
Perlunya partai politik islam yang berasaskan ideologi Islam berguna untuk membina masyarakat terutama generasi muda dalam menjalankan arus digitalisasi. Karena media sosial dalam pandangan islam bersifat sebagai alat (wasilah) bukan tujuan, sehingga pengelolaannya harus selaras dengan akidah dan syari’ah. Jika pada sistem sekarang generasi muda dibebaskan dalam bereskpresi dengan membuat berbagai konten yang banyak mengarah pada kerusakan, maka dalam sistem islam, generasi akan diarahkan pada pembuatan konten yang mengarah pada penyadaran terhadap kondisi umat. Jadi, akan terbentuklah pemikiran kritis tentang berbagai kebijakan yang ada serta penyelesaiannya secara hakiki.
Negara dalam Islam berperan sebagai pengatur dan pelindung umat. Negara bertanggung jawab menyusun regulasi yang melindungi warganya dari kejahatan digital, hoaks, eksploitasi data, dan konten yang merusak moral. Selain itu, negara juga wajib menyediakan pendidikan literasi digital yang merata, membangun infrastruktur teknologi yang adil, serta memastikan ruang digital tidak dikuasai kepentingan yang merugikan masyarakat.
Dengan begitu, arus digitalisasi akan membentuk generasi muda menjadi generasi yang cerdas, tangguh dan bertakwa dengan kemampuan memanfaatkan teknologi secara bijak, berlandaskan nilai iman dan akhlak, serta memiliki kesadaran untuk menjadikan ruang digital sebagai sarana kebaikan, pembelajaran, dan kontribusi nyata bagi masyarakat dan peradaban. Wallahua’lam bisshowab.










