Oleh: Qomariah (Aktivis Muslimah)
Penjajahan fisik dan militer di bumi Indonesia memang sudah berakhir, tetapi perjuangan para santri dan ulama sejatinya belum selesai. Pasalnya, praktik penjajahan tidak lagi berbentuk kolonialisme, melainkan sudah berubah bentuk menjadi Neoimperialisme yang lebih halus dan lebih berbahaya. Jenis penjajahan ini menyusup ke berbagai sendi kehidupan, baik melalui kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum dan lain-lain.
Pada Rabu, 22/20/2025, bertepatan dengan hari santri. Presiden Prabowo Subianto melalui menteri sekretaris negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan ucapan selamat hari santri kepada para santri yang ada di seluruh tanah air.
Mensesneg menyampaikan, telah mewakili presiden dan mewakili pemerintah ingin menyampaikan dan mengucapkan. selamat hari santri tahun 2025. Semoga hari santri yang kita peringati bersama-sama membawa keberkahan bagi kita semua,” ujarnya, dalam pernyataan di kompleks istana kepresidenan Jakarta. Setneg.co.id (Rabu, 22/10/2025).
Di samping ilmu agama, kepala negara juga menekankan pentingnya para santri untuk dibekali dengan berbagai macam ilmu pengetahuan dan keterampilan, agar siap dalam menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.
Harapannya para santri di dalam menghadapi masa depan di kemudian hari memiliki bekal yang cukup lengkap, tidak hanya dari sisi akhlak dan keagamaan, tetapi juga kemampuan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi, termasuk ilmu-ilmu ekonomi,”ujar mensesneg.
Peringatan hari santri lebih banyak seremonial saja. Tidak menggambarkan peran santri sebagai sosok yang faqih fiddin dalam menentukan agen perubahan.
Bahkan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata”santri”memiliki dua makna, yaitu; (a) orang yang mendalami agama Islam. (b) Orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang Saleh. Menurut secara istilah, kata “santri” juga sering dinisbahkan kepada para pemuda yang sedang menimba ilmu agama dari para ulama di lembaga pendidikan yang disebut sebagai pesantren.
Salah satu karakter yang menonjol dari umat Islam. Adalah jiwa perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman dan penjajahan. Semuanya itu terpancar dari pemahaman tentang ajaran Islam, khususnya ajaran yang dimaknai dengan jihad fi sabilillah.
Spirit inilah yang terus terpelihara hingga sepanjang era kolonialisme bangsa-bangsa Eropa, bahwa sejarah bangsa kita tidak lepas dari kisah perlawanan dan heroisme melawan penjajahan. Ada banyak contoh kisah perjuangan para santri dan ulama dalam mengusir penjajahan. Seperti, sunan Kudus yang bersama Pati unus dari kesultanan Demak memimpin dan menyusun strategi penyerangan pada pihak Portugis di Malaka (1511), beliau adalah salah satu wali sanga yang juga menjadi panglima perang kesultanan Demak.
Masih banyak lagi, para ulama dan santri yang berkontribusi besar dalam membebaskan nusantara dari penguasaan fisik bangsa kafir penjajah. Di antara mereka ada yang melakukan perlawanan dengan perjuangan sosial dan politik membentuk berbagai pergerakan umat berisi global, terutama pergerakan untuk merespon keruntuhan sistem Islam (khilafah) sebagai payung politik umat Islam.
Maka perjuangan santri belum selesai saat ini, penjajahan fisik dan militer di negeri ini memang sudah berakhir, tetapi perjuangan kaum santun ulamanya sejatinya belum selesai. Sebab, praktik penjajahan tidak lagi berbentuk kolonialisme, melainkan sudah berubah bentuk menjadi Neo imperialisme yang lebih halus dan lebih berbahaya. Jenis penjajahan ini menyusup ke berbagai sendi kehidupan, baik melalui kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya, hukum maupun propaganda media.
Bahwa politik dan kehidupan masyarakat saat ini tidak baik-baik saja, justru sedang dicengkeram oleh kekuatan kapitalisme global di bawah pimpinan negara-negara adidaya. Terutama Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka dengan kekuatan politik dan ekonominya berhasil melemahkan kekuatan politik dan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, sehingga kondisi negeri ini selayaknya negara yang belum merdeka.
Setelah era kemerdekaan negara-negara kapitalis itu berhasil merusak kekuatan dan spirit juang umat Islam melalui perang pemikiran dan budaya. Mereka menanamkan berbagai paham yang bertentangan dengan Islam. Seperti, sekularisme, nasionalisme, dan liberalisme, hingga ajaran Islam kehilangan esensinya sebagai ideologi perlawanan, ideologi pemersatu, sekaligus problem seluruh masalah kehidupan.
Dalam konteks inilah para santri dan ulama sebagai bagian dari kaum intelektual diharapkan mampu membaca dan memahami keadaan. Bagaimanapun peran mereka sebagai penggerak perubahan sekaligus sebagai pemimpin perlawanan pun, benar-benar sangat diharapkan kembali.
Dengan sistem yang sahih dalam mencetak generasi tangguh yang faqih fiddin, Pesantren pun diharapkan mampu mencetak profil generasi yang memiliki skill di berbagai bidang kehidupan, serta memiliki kesadaran politik Islam yang tinggi, hingga muncul para calon pemimpin peradaban Islam cemerlang yang siap menjawab tantangan zaman.
Namun sayang sekali, bahwa sebagaimana masyarakat Islam lainnya, para santri dan ulama pun tidak luput dari target kelemahan. Meskipun Pesantren menjadi garda terdepan dalam menjaga ajaran Islam, proses sekularisasi dan deideologisasi justru masif melalui kurikulum pembelajaran. Bahkan, saat ini berbagai stigma terus diembuskan untuk memikirkan peran pesantren sebagai basis pertahanan melawan penjajahan modern. Hingga tradisi pendidikan dari pesantren pun digambarkan sebagai tradisi jadul dan ketinggalan zaman.
Bahkan, pesantren akhir-akhir ini muncul fitnah besar, bahwa Pesantren merupakan sarang terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual yang dilakukan para pemuka agama Islam.
Bahkan ada pula upaya pelemahan peran politik pesantren dengan mengaitkan pada isu radikalisme Islam. Salah satunya dengan menuding Pesantren sebagai sarang teroris yang dinarasikan sebagai ancaman besar bagi masa depan perdamaian global. Padahal dalam narasi politik internasional, perang global melawan teror, tidak lepas dari propaganda Amerika Serikat dan sekutunya untuk menghadang potensi kebangkitan Islam.
Namun tidak bisa dipungkiri, dengan masuknya dakwah Islam dan kiat mencuatnya kebobrokan akibat penerapan sistem sekularisasi liberal, kesadaran ideologis umat Islam dunia pun terus mengalami peningkatan. Propaganda mereka soal terorisme dan radikalisme pun lambat laun tidak mendapat sambutan. Itulah sebabnya barat mulai membuat narasi baru yang lebih halus, semisalnya moderasi Islam menampakkan wajahnya yang lebih ramah terhadap nilai-nilai barat atas nama toleransi dan kesetaraan.
Para santri dan ulama, mereka justru digempur dengan berbagai proyek perusakan pemikiran yang menjauhkan Islam sebagai spirit perlawanan. Potensi dan peran strategis Pesantren termasuk para ulama dan santrinya, sengaja dibajak untuk kepentingan mengukuhkan sistem sekuler kapitalisme. Lebih tepatnya, pesantren diKebiri sebatas menjadi salah satu penggerak ekonomi sekaligus menjadi sumber pemasok tenaga kerja level murahan. Alhasil, wibawa dan potensi pergerakan mereka dikunci dengan kekuatan politik dan uang, yang semuanya dikurung dalam bingkai sistem sekuler kapitalis yang tidak mengenal Tuhan.
Masalah ini tidak boleh berkelanjutan, bahwa para santri dan ulama ini harus segera merevitalisasi peran. Menjadi garda terdepan demi mewujudkan kepemimpinan politik Islam global (khilafah islamiyah) yang siap menumbangkan eksistensi ideologi kapitalisme yang nyata menjadi sumber segala kerusakan.
Bahwa Santri di masa kekhilafahan merujuk pada peran mereka sebagai penuntut ilmu dan pejuang agama dan negara. Mereka belajar di bawah bimbingan kiai, serta turut berperan dalam penyebaran Islam, dan mempertahankan wilayah kekuasaan. Pesantren menjadi pusat pendidikan dan perjuangan yang melahirkan tokoh-tokoh. seperti, Pangeran Diponegoro dan ulama lainnya.
Oleh sebab itu, kita sebagai umat Islam adalah umat yang terbaik yang diciptakan oleh Allah SWT, untuk menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.
Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(QS. Ali-Imran: 104). Wallahu a’lam bishawwab.







