Oleh: Qomariah (Aktivis Muslimah)
Tidak pelak, slogan” rakyat bantu rakyat”pun membahana di jagat Maya. Pejabat daerah kelimpungan menangani bencana di daerahnya, di tengah mandeknya koordinasi antara pusat dan daerah. Rakyat Aceh bahkan mengibarkan bendera putih sebagai protes atas ketakpedulian pemerintah.
Sektor pendidikan menjadi salah satu yang juga terdampak akibat banjir serta tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar). Entah lewat kementerian pendidikan dasar dan menengah (kemendikdasmen) maupun kementerian pendidikan tinggi, sains, dan teknologi (kemendiktisaintek) terus melakukan penanganan di tiga provinsi tersebut. Kompas.com (9/12/2025).
Pembelajaran darurat dalam rapat kerja dengan komisi X DPR, Mendikdasmen Abdul Mukti melaporkan banyak sekolah di Sumatera yang terdampak banjir, kini belum bisa menggelar kegiatan pembelajaran.
Dari sisi kebijakan pembelajaran, kami melaporkan bahwa pembelajaran di 52 kabupaten – kota terdampak mengalami gangguan dengan komposisi yang berbeda,” kata Mu’ti dalam rapat kerja itu, Senin (8 /12/2025) dilansir dari ANTARA.
Padahal sektor pendidikan menjadi salah satu yang terdampak bencana sumatera. Namun sayang, terjadi saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, sejak awal bencana. Belum ada penanganan yang serius pasca bencana.
Berdasarkan laporan sementara kementerian pendidikan dasar dan menengah (kemendikdasmen) hingga (Minggu, 14/12/2025). Sebanyak 3.274 satuan pendidikan dari jenjang PAUD hingga pendidikan nonformal dilaporkan terdampak bencana.
Adapun, dampak kerusakan fasilitas 6.431 ruang kelas dan gangguan pada bangunan penunjang fasilitas sanitasi sekolah, mengingat keterbatasan akses dan jaringan di sejumlah wilayah terdampak.
Banyaknya rombongan belajar mengalami terganggunya proses layanan pendidikan akibat kerusakan infrastruktur sekolah, dan terhambatnya akses menuju satuan pendidikan, serta kondisi warga sekolah yang terpaksa mengungsi.
Demi menanggapi situasi tersebut, para pelaksana pembelajaran darurat melakukan berbagai skema. Hal itu mencakup pendirian ruang kelas sementara, penempatan siswa di sekolah terdekat yang tidak terdampak, penerapan jadwal belajar fleksibel, serta pemanfaatan modul pembelajaran kedaruratan.
Perlu pendampingan bagi guru dan relawan pendidikan, dilakukan guna untuk memastikan proses belajar mengajar di cerita pendek darurat bisa berjalan dengan lancar. Sebab menghadapi bencana bukan perkara yang mudah, terlebih di tengah larutnya pembangunan yang berpihak pada kepentingan korporasi, di mana skenario penanganan bencana yang cepat dan tepat jelas tidak mudah, meski demikian, banyak hal yang harus dibenahi di tengah keterbatasan.
Semestinya pemerintah respons cepat, dalam menentukan dan menerapkan prinsip tanggap darurat atas bencana. Tapi sayang, sikap saling lempar tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah, justru lebih menonjol sejak awal bencana terjadi. Presiden bahkan mengeluarkan pernyataan bahwa kondisi wilayah Sumatera dan Aceh baik-baik saja. Padahal, desakan untuk menaikkan status bencana nasional pun seakan-akan tidak digubris, rakyat Aceh sampai mengibarkan bendera putih sebagai protes atas ketakpedulian pemerintah.
Padahal tanggap darurat adalah respon cepat pemerintah daerah hingga ke pusat. Tapi justru lamban merespon dalam melakukan asesmen kebencanaan, sehingga berdampak penanganan kebutuhan dasar pun seadanya, termasuk aspek pendidikan. Dalam aspek pendidikan, secara teknis pemerintah semestinya bisa melakukan koordinasi lintas sektoral, melakukan pendataan jumlah fasilitas pendidikan yang terdampak, sarana dan prasarana, jumlah siswa dan guru, serta menetapkan skenario pemulihan dalam masa tanggap darurat bencana, namun sayangnya, hingga tiga pekan pasca bencana, pemerintah hanya sibuk klarifikasi semata.
Bahwa respon cepat adalah penanganan dan pengadaan darurat fasilitas umum, termasuk fasilitas pendidikan sebagai kebutuhan dasar generasi. Meski sejumlah skenario sudah pemerintah rumuskan untuk memulihkan aktivitas pendidikan, nyatanya hingga saat ini belum ada target resmi dinas pendidikan di wilayah terdampak, mengenai waktu dimulainya aktivitas pendidikan pascabencana.
Penanganan kondisi darurat mungkin sudah ada, hanya saja tahap eksekusi terbentur dengan masalah lain. seperti; untuk memenuhi kebutuhan pokok, masyarakat harus berjalan kaki menempuh jarak puluhan hingga ratusan kilometer. Beberapa fasilitas yang mereka butuhkan diusahakan sendiri dengan biaya yang tinggi. Adapun penyaluran bantuan logistik jelas beririsan dengan upaya pemenuhan hak pendidikan generasi.
Meski sebenarnya terdapat program dengan anggaran besar yang berpotensi dirasionalisasi. seperti; program MBG, sehingga dapat dialihkan untuk masyarakat yang terdampak bencana. Adapun skenario yang dirancang sudah bagus, tetapi eksekusi di lapangan kerap berselisih jalan, artinya penanganan bencana ini bersifat paradigmatis. Bahwa sistem sekuler kapitalisme hari ini tidak hanya menghasilkan sistem kehidupan yang amburadul, tapi juga mencetak penguasa yang tidak kapabel.
Hanya Islam memiliki konsep khas baik dari sisi mitigasi, maupun penanganan bencana. Mitigasi terletak pada upaya memastikan tidak adanya pengelolaan lahan seperti hutan secara ugal-ugalan. Seperti, saat terjadinya bencana. Justru negara menerapkan prinsip tanggap dan sigap.
Adapun Sistem Islam (Khilafah Islamiyah), akan menerapkan dalam mengurus rakyat yang melibatkan para ahli. Seorang khalifah akan melakukan komunikasi langsung kepada para wali (pejabat tingkat gubernur), untuk mendapatkan laporan mengenai bencana. Khalifah juga akan mengoordinir langsung kerja sama lintas sektoral melalui departemen maslahiyah (kemaslahatan umum).
Sistem Islam (Khilafah Islamiyah) akan berkomunikasi dengan wilayah yang paling dekat dari lokasi bencana agar dapat menyalurkan logistik yang dibutuhkan masyarakat ketika pascabencana. Seperti; kesehatan, pendidikan, media, transportasi, Jalan, pertanian dll.
Begitu pula dalam menormalkan aktivitas pendidikan, negara secara responsif dapat mendirikan tenda pengungsian, mengerahkan bantuan melalui pejabat di wilayah terdekat untuk membantu membuka akses melalui jalur darat, laut maupun udara dan memobilisasi guru yang akan diperbantukan di wilayah terdampak.
Dalam menangani bencana, sistem Islam tidak lepas dari skenario anggaran. Pendanaannya melalui mekanisme Baitulmal, yang berasal dari; pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap. Yaitu; Fai, ganimah, Anfal, kharaj, dan jizyah, serta pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, pemasukan dari hak milik negara, seperti; usyur, khumus, rikaz, dan tambang.
Pengeluaran dana di Baitulmal pada saat kondisi keterpaksaan. Seperti; bencana termasuk banjir, angin topan, dll. Jika harta tersedia di Baitulmal, wajib segera disalurkan, apabila tidak tersedia, negara berkewajiban menghimpun dana dari kaum muslim dan menyalurkannya melalui Baitulmal. Bahkan jika, penundaan dikhawatirkan menimbulkan penderitaan, negara wajib meminjam dana terlebih dahulu untuk kemudian disalurkan, yang selanjutnya dilunasi dari dana yang dihimpun dari kaum muslim. Maka dengan mekanisme ini negara memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat, pada fase tanggap darurat.
Allah SWT berfirman; “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”(TQS.al-Baqarah: 30). Wallahua’lam bishawwab.













