Pembatasan Medsos Bukan Menjadi Solusi yang Hakiki

Oleh: Qomariah (Aktivis Muslimah)

Mereka harus paham krisis yang menimpa umat bukanlah persoalan teknis, tetapi buah dari penerapan sistem kapitalisme yang cacat sejak lahir.

Pemerintah berencana membatasi penggunaan media sosial (medsos), untuk anak usia 13-16 tahun tergantung dari risiko masing-masing platform. Menteri komunikasi dan digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan, penerapan pembatasan itu ditargetkan terlaksana mulai Maret 2026.

Bahwa tahun depan bulan Maret sudah mulai bisa kita laksanakan, melindungi anak-anak kita dengan melakukan penundaan akses akun, pada anak-anak usia 13-16 tahun, tergantung risiko masing-masing platform,” kata Meutya, dikutip dari akun youtube Kemkomdigi, kompas.com Kamis (11/12/2025).

Bahwa arus deras informasi digital adalah tantangan besar generasi muda saat ini, sebab generasi muda adalah pasar potensial bagi produk-produk digital. dampaknya, seluruh konten digital menjadi tabungan informasi dan bisa mengendalikan cara berpikir mereka, termasuk arah pandangnya terhadap kehidupan.

Sebab ekosistem digital telah mengurung pemuda dalam lingkaran aktivisme semu, jelas pemuda Muslim harus diiringi ideologi shahih, yaitu; Islam kaffah. Untuk membentuk generasi pelopor perubahan di tengah jeratan ekosistem digital kapitalistik, Karena umat yang sangat ingin keluar dari jebakan algoritma ini.

Sayang sekali, dunia digital saat ini telah membuka ruang yang sangat luas terhadap konsumennya, juga banyak membawa dampak buruk kepada generasi muda saat ini, terutama kepada anak 13-16 tahun.

Di mana dunia digital sangat banyak pengaruhnya terhadap kehidupan, telah memberi kebebasan berekspresi, tetapi membatasi kedalaman berpikir. Bahkan ironinya lagi, kondisi ini paling kuat mempengaruhi generasi muda dan anak-anak saat ini, seharusnya kelompok mereka adalah motor perubahan bagi umat.

Pemuda Muslim harus berjuang Bukan hanya untuk mempertahankan identitas, tetapi juga untuk tetap sadar arah perjuangannya, dalam menghadapi derasnya informasi yang tidak henti mengalir. Bahkan tanpa ideologi yang sahih, mereka akan larut dalam arus besar kapitalisme digital yang telah menjadikan manusia cuma sekedar komoditas yang bisa dijual kepada pasar global.

Digital dalam jeratan Kapitalisme platform hari ini, membuat aktivisme pemuda Muslim di ruang digital tampak begitu dinamis. Bahkan setiap momentum politik, tragedi kemanusiaan, atau ketidakadilan apapun langsung memantik gelombang solidaritas, kampanye tagar, kritik kebijakan, hingga diskusi panjang yang mengisi lini masa dengan cepat.

Perlu juga disadari, bahwa kegairahan ini seringkali menipu, sebab dibalik kecepatan pergerakannya tersimpan kerapuhan. Banyak aktivisme digital berkembang bukan karena kesadaran ideologis, melainkan mekanisme viralitas yang sengaja dibangun oleh korporasi teknologi.

Adapun gagasan yang menyentuh akan permasalahan seperti kegagalan kapitalisme global, hegemoni politik Barat, urgensi kepemimpinan Islam kerap dibatasi jangkauannya melalui praktik Shadow-ban yang bekerja halus tetapi efektif, sebab media digital seolah-olah memberi pemuda ruang untuk bersuara. Namun, sejatinya selama suara mereka tidak mengancam struktur ideologis yang menopang platform- platform digital yang ada, hal ini menjadikan gerakan para pemuda tampak hidup, meski sebenarnya sedang dikebiri dari dalam.

Sebab algoritma digital Global saat ini, tentu berakar pada sekularisme dan liberalisme, lalu membungkusnya dengan mekanisme teknis yang membuatnya tampil netral, yang bekerja tanpa jeda, pemuda didorong memandang agama sebagai ranah privat, memisahkan nilai dari urusan politik, Dan menganggap kebebasan individual sebagai tujuan paling rasional.

Bahkan sifat kapitalistik ruang digital memposisikan identitas dan perhatian pemuda menjadi komoditas yang diperdagangkan. Setiap interaksi dihitung, setiap opini diubah menjadi data, dan setiap kegelisahan dibaca sebagai peluang monetisasi, tetapi ketika pemuda membicarakan penderitaan umat, platform hanya menimbang potensi engagement. Sementara narasi yang benar-benar mengancam struktur global, seperti gagasan tentang kembalinya kekuasaan politik Islam, bukan hanya dipinggirkan, tetapi kerap diberi label negatif atau dipotong jangkauannya.

Sungguh berbeda dalam pandangan Islam, bahwa Islam menganggap digital adalah tempat penguatan iman atau suntikan motivasi spiritual, yang mendorong dan membangun cara berpikir, cara menilai, dan cara bergerak berdasarkan Akidah Islam.

Bahwa tsaqofah umat merupakan pembentukan kepribadian individu-individu umat, dengan tsaqofahlah yang membentuk akliah (pola pikir) individu dan metode penetapan hukum atas suatu benda, perkataan dan perbuatan, selanjutnya akan mempengaruhi pola pikir, jiwa dan perilakunya. Oleh karenanya, penjagaan dan penyebaran tsaqofah umat di tengah masyarakat, adalah termasuk tanggung jawab yang utama bagi negara.

Namun tentu saja, negara Islam juga akan secara serius menanamkan sakopa ke dalam diri anak-anak umat, mencegah siapapun yang menyerukan pemikiran selain Islam di dalam negeri, serta mengemban tsaqofah Islam ke negara dan bangsa lain, melalui dakwah dan jihad.

Bahkan sistem Islam memiliki mekanisme pendidikan yang sangat terperinci, yang bisa mengarahkan potensi setiap lapisan usia, mulai dari yang baru lahir hingga generasi tua, agar tetap teguh di atas aqidah dan syariat Islam, yang memiliki Syakhshiyyah Islamiyyah (berkepribadian Islam). Serta kapasitas intelektual dan spiritual yang kukuh untuk menjadi agen perubahan.

Pengorganisasian ideologis ini bukan demi kepentingan kelompok, tetapi untuk memusatkan potensi pemuda pada tujuan strategis, yaitu kembalinya kepemimpinan islam sebagai pelindung umat dan pengatur dunia. Maka itu, umat membutuhkan partai politik Islam ideologis, yang menjadikan Akidah sebagai asas dan perubahan sistem, sebagai tujuan perjuangan, yang jelas, tegas, dan nyata menuju perubahan hakiki.

Allah SWT berfirman;  “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,”(QS. Ar- Ra’d : 11).

Ini menunjukkan bahwa perubahan positif dimulai dari diri individu dan komunitas yang berupaya menerapkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh), termasuk dalam aspek individu, sosial, dan negara, sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya untuk kembali kepada fitrah Islam, bukan sekadar perubahan parsial atau tambal sulam.

Bahwa dengan perubahan hakiki, umat membutuhkan partai politik Islam ideologis yang menjadikan Akidah sebagai asas dan perubahan sistem sebagai tujuan perjuangan. Dengan partai inilah menuju perubahan hakiki, yakni runtuhnya kapitalisme, dan tegaknya kepemimpinan islam yang rahmatan lil alamiin.

Sejarah Islam menunjukkan bahwa perubahan besar selalu digerakkan oleh pemuda, pada masa Rasulullah SAW, bahwa mush’ab bin Umair membawa  dakwah ke Madinah dan membuka jalan hijrah, juga ada Muhammad Al Fatih,  yang menaklukkan konstantinopel dengan visi besar yang dipupuk sejak remaja. Mereka bukan generasi yang sekedar mengikuti arus zaman, justru merekalah yang menciptakan arus sejarah peradaban Islam.

Bahwa perubahan hakiki yang dibutuhkan generasi kita saat ini, adalah dengan diterapkannya Islam kafah. Insya Allah. Wallahu a’lam bishawwab.