Oleh : Ummu Syafa
Perkembangan teknologi digital hari ini memang menghadirkan kemudahan luar biasa dalam kehidupan manusia. Namun bersamaan dengan itu, lahirlah ancaman baru yang sangat serius, yakni krisis kesehatan mental, terutama pada generasi muda. Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak, sekaligus yang paling rentan karena lemahnya regulasi dan dominannya sistem ekonomi kapitalisme yang menempatkan keuntungan di atas keselamatan generasi.
Saat ini berbagai survei dan laporan menunjukkan bahwa adanya fenomena remaja Indonesia mengalami lonjakan gangguan mental seperti, kecemasan, depresi, sulit konsentrasi, stres kronis, dan gangguan tidur. Salah satu pemicu utamanya adalah penggunaan layar digital yang berlebihan. Aplikasi dan media sosial memaksa pengguna terus aktif, menciptakan adiksi yang tak disadari.
Selain itu Indonesia bahkan disebut sebagai salah satu negara dengan tingkat kecanduan gadget tertinggi di dunia. Penggunaan smartphone tidak lagi sekadar alat komunikasi, tetapi menjadi “ruang hidup” utama remaja.
Hal tersebut menghasilkan beberapa dampak negatif seperti, digital dementia yaitu penurunan kemampuan daya ingat dan analisis, malas berpikir karena semua jawaban tersedia instan, kesepian sosial akibat minim interaksi nyata, dan ketergantungan emosional pada notifikasi, likes, dan algoritma.
Berbeda dengan beberapa negara yang melarang anak di bawah 13 atau 16 tahun memiliki akun media sosial, Indonesia belum memiliki kebijakan tegas. Padahal, platform media sosial, termasuk yang berbasis AI, diakui memiliki dampak buruk terhadap perkembangan psikologis anak—mulai dari kecanduan, distorsi identitas, hingga manipulasi emosi.
Tentu hal ini terjadi akibat diberlakukannya sistem kapitalisme yang mana dalam sistem kapitalisme, media digital bukan diciptakan untuk mendidik atau melindungi, tetapi untuk mengambil perhatian sebanyak mungkin. Semakin lama seseorang menatap layar, semakin besar keuntungan perusahaan melalui iklan, data pengguna, dan perilaku konsumtif.
Selain itu kapitalisme memandang manusia sebagai pasar, bukan amanah. Karena itu, masalah kesehatan mental dianggap “efek samping” yang bisa diabaikan
Di samping itu perusahaan digital tidak berkewajiban mencegah adiksi, semakin rusak mental generasi, semakin besar pula konsumsi digitalnya.
Ini bukan kecelakaan sistem, tetapi hasil langsung dari mekanisme kapitalisme itu sendiri. Platform digital global menjadikan Indonesia sebagai salah satu pasar paling gemuk, jumlah pengguna besar, aturan lemah, regulasi hampir tidak ada.
Negara tidak menegur, menindak, atau mengatur perusahaan digital secara tegas. Tidak ada kebijakan komprehensif untuk melindungi generasi muda, sehingga mereka menjadi korban komersialisasi digital tanpa perlindungan apa pun.
Tentu masalah ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan dampak dari beberapa faktor fundamental:
- Dominasi Sistem Kapitalisme
Sistem ini menempatkan keuntungan sebagai tujuan tertinggi. Semua platform digital, algoritma, dan fitur adiktif lahir dari satu tujuan yaitu profit. Bukan pendidikan, bukan kesehatan mental, dan bukan masa depan generasi.
- Negara Berperan sebagai Regulator Lemah
Pemerintah hanya menjadi pengatur kecil yang tunduk pada kepentingan industri digital, tidak menolak masuknya platform merusak, tidak membuat aturan batas usia, tidak melarang konten berbahaya, dan tidak menerapkan kebijakan pencegahan kecanduan.
- Hilangnya Peran Orang Tua dan Masyarakat
Dalam sistem sekuler, pendidikan anak diserahkan pada sekolah dan teknologi. Akibatnya: orang tua kehilangan kendali, masyarakat tidak peduli, anak dibiarkan tenggelam dalam dunia digital tanpa pendampingan.
- Ketiadaan Landasan Moral yang Kuat
Ketika nilai hidup tidak didasarkan pada agama, maka standar benar-salah menjadi kabur. Media digital akhirnya mendominasi pikiran anak muda dengan: budaya hedonisme, individualisme, narsisisme, gaya hidup bebas, pengidolaan selebritas dan influencer.
Dalam narasi Islam, generasi adalah aset besar umat. Generasi inilah calon pemimpin, ilmuwan, dan pembentuk peradaban. Karena itu, mereka tidak boleh dibiarkan rusak oleh kapitalisme digital.
Negara Islam memiliki visi besar untuk membangun generasi terbaik yang memimpin dunia. Komitmen negara bukan pada investor, melainkan pada rakyat dan agama. Generasi muda dijaga, dididik, dan dipandu agar tumbuh menjadi: cerdas, berakhlak, mandiri, kuat mental, serta kuat spiritual.
Sistem Islam menerapkan pendidikan Islam yang menguatkan keimanan, kritikalitas, dan karakter, bukan sekadar akademik, melibatkan peran orang tua sebagai madrasah pertama, dan bersinergi dengan masyarakat untuk amar makruf nahi mungkar, sehingga lingkungan sosial menjadi benteng moral.
Di samping itu negara melakukan intervensi langsung untuk mencegah kerusakan mental dengan, mengawasi dan menyaring konten yang sesuai nilai Islam yang boleh beredar. Konten merusak dikenai sanksi keras.
Kemudian membatasi media sosial yang diizinkan, yaitu tidak semua platform boleh beroperasi. Hanya yang bermanfaat, edukatif, dan aman yang diberi izin.
Memberlakukan Batas Usia Use Media Sosial, Anak-anak berada dalam pengawasan orang tua dan negara. Akses dibatasi sesuai perkembangan psikologis mereka.
Maka dari itu krisis mental generasi muda Indonesia saat ini bukan sekadar masalah individu, melainkan masalah sistem. Sistem kapitalisme digital telah menciptakan generasi yang adiktif, lemah mental, mudah cemas, malas berpikir, dan kehilangan arah hidup.
Semua ini terjadi karena manusia ditempatkan sebagai produk, bukan amanah. Negara bertindak lemah, sementara perusahaan digital bebas memanen keuntungan.
Islam menawarkan solusi yang jauh lebih kokoh: perlindungan generasi, pendidikan berbasis akidah, regulasi tegas terhadap media digital, dan sistem pemerintahan yang menempatkan kesejahteraan umat di atas kepentingan ekonomi.
Jika generasi muda adalah masa depan, maka melindungi mereka dari kapitalisme digital bukan pilihan—melainkan kewajiban. ***












