Kohabitasi Berujung Mutilasi: Potret Tragis Liberalisasi Pergaulan Sosial

Oleh : Ummu Syafa

Kasus mutilasi sadis yang terjadi di Surabaya dan Mojokerto baru-baru ini menyisakan luka dan kecemasan mendalam bagi masyarakat. Seorang wanita muda menjadi korban kekerasan brutal yang dilakukan oleh pacarnya sendiri, hanya karena persoalan sepele: tidak dibukakan pintu kos dan tekanan ekonomi. Namun, di balik tindakan keji tersebut, tersingkap realitas yang lebih mengkhawatirkan: tren kohabitasi (tinggal bersama tanpa pernikahan) yang semakin marak di kalangan generasi muda.

Peristiwa ini bermula dari penemuan puluhan potongan tubuh manusia di Mojokerto. Setelah diselidiki, potongan-potongan tersebut merupakan bagian dari tubuh seorang perempuan muda yang ternyata tinggal satu kos dengan pelaku di Surabaya. Kasus ini terungkap setelah polisi menemukan ratusan potongan lainnya yang disimpan di dalam kamar kos mereka.

Pelakunya adalah kekasih korban sendiri. Motif dari tindakan sadis ini diduga karena pelaku kesal kepada korban yang tidak membukakan pintu kos, serta merasa tertekan oleh tuntutan ekonomi yang dibebankan oleh korban. Hubungan keduanya telah lama berjalan tanpa ikatan pernikahan, sebuah praktik yang kini banyak dikenal sebagai kohabitasi atau kumpul kebo.

Kohabitasi, yang dulunya dianggap tabu, kini justru dianggap sebagai pilihan “rasional” oleh sebagian anak muda. Alasan yang dikemukakan pun beragam, dari keinginan mengenal pasangan lebih dalam, hingga alasan efisiensi ekonomi. Psikolog Virginia Hanny menyebutkan bahwa sebelum memutuskan untuk tinggal bersama, pasangan seharusnya memiliki kesadaran penuh, menentukan batasan, serta memahami tujuan dari kohabitasi itu sendiri.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kohabitasi tanpa landasan nilai dan tanggung jawab yang kuat justru rentan menimbulkan masalah serius: mulai dari konflik emosional, kekerasan dalam hubungan, hingga tragedi kemanusiaan seperti kasus mutilasi ini.

Kasus ini tidak bisa dilepaskan dari akar persoalan yang lebih dalam: pengaruh sekularisme yang memisahkan nilai agama dari kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat yang dibentuk oleh nilai-nilai sekuler dan liberal, individu merasa bebas untuk menentukan standar moral sendiri. Pacaran, tinggal bersama, hingga pergaulan bebas menjadi sesuatu yang normal dan bahkan didukung oleh media dan budaya populer.

Namun, kebebasan tanpa arah ini justru menjerumuskan banyak orang, terutama generasi muda, ke dalam relasi yang tidak sehat. Ketika tidak ada nilai yang membatasi, tindakan kekerasan bisa terjadi kapan saja, terlebih ketika emosi tidak dikendalikan oleh ketakwaan atau rasa takut kepada Tuhan.

Sayangnya, negara juga belum hadir secara maksimal untuk mencegah kerusakan moral ini. Aktivitas kohabitasi, pacaran, bahkan perzinaan tidak dianggap sebagai tindakan pidana selama tidak ada korban yang melapor. Artinya, negara hanya bertindak sebagai “pemadam kebakaran” setelah tragedi terjadi, bukan sebagai penjaga moralitas masyarakat.

Islam telah menetapkan sistem sosial yang jelas dan komprehensif, bukan hanya membatasi tapi juga menjaga martabat manusia dan keharmonisan masyarakat. Dalam Islam, relasi antara laki-laki dan perempuan diatur secara tegas untuk mencegah fitnah dan kerusakan. Aktivitas pacaran dan tinggal bersama tanpa nikah dilarang karena membuka jalan pada perbuatan zina dan kekerasan.

Solusi atas problem ini bukan sekadar nasihat individu, tetapi perubahan sistemik.  Pendidikan Islam harus ditanamkan sejak dini agar individu memiliki kesadaran bahwa hidup ini memiliki tujuan: mengabdi kepada Allah. Ketakwaan akan mencegah seseorang melakukan hal-hal yang diharamkan, seperti pacaran, kekerasan, dan pembunuhan.

Masyarakat harus memiliki peran aktif dalam mengingatkan dan mencegah kemungkaran. Budaya saling menasihati dalam kebaikan dan mencegah keburukan harus dihidupkan kembali.

Negara tidak boleh netral terhadap moralitas. Negara harus membentuk kepribadian Islam rakyatnya melalui sistem pendidikan berbasis akidah Islam, menerapkan sistem pergaulan Islam, serta menegakkan sanksi bagi pelanggar hukum syariat. Dengan begitu, tidak hanya tindakan kriminal yang bisa dicegah, tetapi juga akar penyebabnya diberantas sejak dini.

Tragedi mutilasi yang berawal dari hubungan tanpa ikatan resmi ini adalah alarm keras bagi masyarakat dan negara. Sudah saatnya kita berhenti memuja gaya hidup liberal yang merusak nilai-nilai dasar kemanusiaan. Kembali kepada sistem sosial Islam bukan sekadar pilihan, tapi kebutuhan yang mendesak demi menyelamatkan generasi dari kehancuran moral yang lebih parah. ***

mgid.com, 522927, DIRECT, d4c29acad76ce94f google.com, pub-2441454515104767, DIRECT, f08c47fec0942fa0