Oleh: Nazriah (Aktivis Remaja)
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari www.kompas.com. Adanya kasus memutilasi seorang pacarnya sendiri terjadi di Surabaya. Puluhan bahkan ratusan potongan tubuh ditemukan di semak-semak dan bagian lainnya ditemukan di kos pelaku. Diketahui ini bermula dari seorang sepasang kekasih yang tinggal bersama tanpa adanya hubungan suami istri. Pelaku melakukan pembunuhan dan mutilasi karena emosi lantaran sang pacar tidak membukakan pintu kos saat pulang malam, dan kewalahan karena tuntutan ekonomi serta menghadapi sikap sang pacar yang meminta gaya hidup yang berlebih, ini sering terjadi sebelumnya hingga membuat pelaku merasa kesal dan emosi yang tak tertahankan.
Kisah mutilasi ini menyisakan catatan fakta dari kehidupan bebas generasi muda, yaitu living together atau kohabitasi atau kumpul kebo. Kohabitasi sendiri merupakan tinggal bersama sepasang kekasih tanpa adanya ikatan atau hubungan suami istri yang sah secara hukum. Tinggal bersama menjalankan kehidupan rumah tangga layaknya seorang suami dan istri tanpa adanya ikatan hubungan yang legal.
Generasi muda saat ini banyak memilih melakukan kohabitasi, dengan alasan yang beragam. Mulai dari ingin merasa kenal lebih dekat sebelum melakukan hubungan serius, sampai pertimbangkan praktis seperti efisiensi biaya hidup. Suatu kondisi dapat disebut kohabitasi apabila dua orang yang belum menikah hidup bersama menyerupai kehidupan suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan yang sah.
Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan, membuat orang-orang merasa terbebas dari peraturan keagamaan, semena-mena menjalani kehidupan. Bebas melampiaskan cinta, senang, bahkan amarah dengan cara apapun sesuka hatinya. Tidak lagi terkendali oleh aturan yang mengikat, tak peduli halal dan haram semua bebas mereka lakukan. Kumpul kebo di kalangan anak muda menjadi normalisasi akibat buah dari sekularisme.
Dalam masyarakat sekuler-liberal ini pacaran saja sudah menjadi hal yang biasa, bahkan kumpul kebo ini juga dinormalisasikan. Negara tidak membentuk rakyatnya agar memiliki pemahaman yang benar dalam menjalankan kehidupan, yakni pemahaman Islam. Negara bahkan mendukung aktivitas pacaran dan perzinaan, apabila ada korban baru ditindak pidana.
Di Indonesia kohabitasi dapat di pidana kan dengan pidana penjara atau denda apabila ada laporan dari pihak yang berhak. Kohabitasi ini diatur dalam Pasal 412 UU No.1 Tahun 2023 (KUHP baru) yang akan berlaku efektif pada 2 Januari 2026. Sebenarnya, pasal ini bukanlah solusi menuntaskan kohabitasi yang terjadi, karena penjara dan denda tidak akan membuat efek jera. Apalagi sekarang masuk penjara sudah menjadi hal biasa yang tidak membuat orang takut. Banyaknya kasus pidana yang terjadi sekarang membuktikan bahwa hukum yang di terapkan sekarang tidak ada pengaruh terhadap masyarakat yang membuat mereka takut melakukan kejahatan. Kohabitasi ini juga akan tetap terjadi jika tidak ada laporan terkait hal tersebut, jadi ini bukanlah solusi yang hakiki.
Dalam Islam, perbuatan mendekati zina saja sudah dilarang jelas tercantum dalam firman Allah SWT QS. Al-Isra’ ayat 32. Apalagi jika melakukannya, maka akan ada konsekuensi yang berlaku. Hukuman bagi pelaku zina muhson (sudah menikah) ialah rajam, sedangkan hukuman bagi pelaku zina ghairu muhsan (belum menikah) ialah cambuk seratus kali dan di asingkan selama setahun, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan hadis.
Jika hukuman ini diterapkan maka akan ada efek jera dan takut masyarakat jika melakukan perbuatan zina. Tentunya semua hukuman yang berlaku dalam Islam harus ada syarat dan ketentuan sesuai peraturan dalam Islam, jika tidak memenuhi syarat maka hukuman ini tidak akan berlaku.
Dengan menanamkan pemahaman Islam ini, seseorang akan menjauhi hal-hal yang diharamkan dalam Islam seperti pacaran dan membunuh. Penanaman akidah yang berdasarkan Islam akan membuat seseorang takwa mampu bertindak sesuai tujuan penciptaan.
Solusi hakiki untuk menuntaskan perbuatan kohabitasi yakni dengan penerapan syariat Islam. Dan penerapan syariat Islam ini harus dilaksanakan oleh negara, karena peraturan ini dibuat langsung oleh sang Pencipta dan bukan peraturan buatan manusia. Peraturan yang dibuat oleh tangan manusia hanya akan menimbulkan perselisihan karena hanya Allah SWT yang tahu mana yang terbaik untuk hambanya.
Dan perlu kontrol Masyarakat terhadap pergaulan bebas, aktif untuk mengingatkan dan mencegah kemungkaran agar tidak terjerumus kedalam hal yang buruk. Negara harus menerapkan hukum Islam secara Kaffah dan berperan aktif dalam meriayah rakyatnya agar berkepribadian Islam melalui pendidikan yang berdasarkan akidah Islam, dan menerapkan sistem pergaulan Islam serta melaksanakan sanksi Islam pada pelaku jarimah (pelanggaran terhadap hukum syariat Islam). Dengan penerapan syariat Islam ini tentu akan berdampak positif bagi masyarakat karena yang kita tahu semua hukum Allah SWT mengarah pada kebaikan dan tentunya memberantas kohabitasi dan kemungkaran. Wallahu’alam ….