Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) membatalkan pemblokiran terhadap 28 juta rekening yang mereka sebut “menganggur”—atau dormant dalam bahasa keuangan. Pencabutan blokir jutaan rekening itu menunjukkan kebijakan ini bermasalah sedari awal, menurut analis. Pakar ekonomi menyebut PPATK “gagal memahami pola bisnis keuangan yang berbasis kepercayaan”. Pembukaan kembali puluhan juta rekening itu dipublikasikan pejabat PPATK, Kamis (31/07).Pemblokiran dibatalkan, klaim PPATK, setelah mereka meninjau ulang transaksi rekening dan memastikan rekening tersebut tak berkaitan dengan tindak pidana.
PPATK membuat klaim, pembekuan rekening tanpa aktivitas apapun mereka lakukan “untuk melindungi rekening dari potensi penyelewenangan dan kejahatan, seperti penipuan dan pencucian uang”. Namun, kebijakan PPATK itu dikeluhkan warga. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai “sabotase pemerintah” lantaran mereka sengaja mengendapkan dana di rekening sebagai tabungan dan dana darurat.Setelah kontroversi mencuat, sejumlah bank menyatakan memblokir rekening demi mematuhi ketentuan dan regulasi otoritas keuangan di Indonesia, termasuk PPATK. Mereka meminta masyarakat untuk tidak mencemaskan dana dan data yang tersimpan di bank akibat pemblokiran ini, (BBC NEWS INDONESIA, Kamis ,31/07/2025).
Kebijakan ini bukan hanya soal rekening dibekukan. Ia menyentuh ranah yang lebih dalam, rasa aman. Dalam kondisi ekonomi yang semakin sulit, rakyat membutuhkan jaminan bahwa apa yang mereka miliki tetap menjadi milik mereka. Tapi ketika uang tabungan yang dijaga bertahun-tahun bisa hilang aksesnya dalam satu pengumuman pers, bagaimana masyarakat bisa mempercayai sistem?
Bagi sebagian kalangan, rekening tersebut adalah bentuk kepercayaan kepada sistem perbankan nasional. Tapi apa jadinya jika kepercayaan itu dibalas dengan pemblokiran sepihak tanpa notifikasi, tanpa proses, dan tanpa mekanisme yang jelas untuk memulihkan hak mereka?
Kebijakan ini adalah buah dari sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan rakyat sebagai objek untuk ditarik sebanyak-banyaknya ke dalam sistem finansial negara, tapi sekaligus rentan disingkirkan jika tak dianggap menguntungkan secara fiskal.
Kapitalisme menciptakan logika bahwa aset warga bisa dikelola, dimonitor, dan bahkan dibekukan jika tak lagi sejalan dengan “keseimbangan sistem”. Dalam logika ini, negara bukan lagi penjaga hak rakyat, tapi menjadi bagian dari aktor ekonomi yang bisa mengambil keputusan atas harta milik individu dengan alasan efisiensi atau keamanan.
Berbeda dengan paradigma kapitalisme, Islam memandang kepemilikan pribadi sebagai hak yang dijaga syariat, bukan aset yang bisa diatur ulang sesuai kebutuhan fiskal negara. Islam memiliki aturan yang tegas dan proporsional terkait harta.
Rasulullah ﷺ bersabda: Barang siapa yang mengambil hak orang lain secara zalim, maka ia akan diseret di hari kiamat dengan membawa dosa sebesar gunung.” (HR. Bukhari).
Dalam Islam, negara tidak boleh mengambil atau membekukan harta rakyat kecuali karena alasan yang sah secara syar’i, seperti pencurian, penipuan, atau ketidakadilan dalam akuisisi. Dan bahkan dalam kasus semacam itu pun, Islam menetapkan prosedur hukum yang ketat, bukan sekadar keputusan administratif sepihak.
Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam telah terbukti dalam sejarahnya menjadi pelindung hak milik. Umar bin Khattab ra., salah satu khalifah paling tegas dalam keadilan, pernah menegur aparat yang mengambil harta rakyat meski dalam keadaan darurat. Negara Islam tidak menganggap rakyat sebagai objek fiskal, tetapi sebagai amanah yang wajib dilindungi hak-haknya.
Pemblokiran rekening rakyat bukan sekadar isu administratif atau kebijakan teknis. Ini adalah cermin dari bagaimana negara memperlakukan warganya, bagaimana sistem memandang harta pribadi, dan seberapa jauh negara merasa punya hak mengatur ulang hidup rakyat.
Selama negara berdiri di atas sistem kapitalisme yang menempatkan rakyat sebagai unit ekonomi semata, maka tindakan-tindakan seperti ini akan terus berulang. Harta, tanah, bahkan data pribadi bisa menjadi milik negara kapan pun dianggap perlu.
Sudah saatnya rakyat mempertanyakan: apakah kita hanya butuh ganti pemimpin, atau ganti sistem? Sebab bila sistemnya tetap sama, sistem yang membolehkan negara merampas secara sah, maka siapa pun yang berkuasa akan tetap menjadi ancaman terhadap hak-hak rakyat. Wallahualam bissawab