Kaleidoskop Bencana 2025: Bencana Berulang, Solusi Masih Mandek

Oleh : Frumsia

Sepanjang tahun 2025, bencana seolah tak pernah absen menyelimuti Indonesia. Dari awal hingga akhir tahun, berbagai musibah datang silih berganti, meninggalkan duka, kerugian materi, dan trauma mendalam bagi masyarakat. Kaleidoskop bencana tahun ini bukan sekadar rangkuman peristiwa, melainkan cermin kegagalan sistemik dalam melindungi rakyat dari ancaman yang seharusnya dapat diminimalisir.

Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga 4 Desember 2025 Indonesia telah mengalami 2.997 kejadian bencana alam. Angka ini menegaskan bahwa Indonesia masih berada di zona risiko tinggi, terutama terhadap bencana hidrometeorologi.

Banjir dan cuaca ekstrem menjadi penyumbang terbesar. Banjir tercatat sebanyak 1.503 kejadian, disusul cuaca ekstrem 644 kasus. Tingginya intensitas hujan, alih fungsi lahan yang masif, serta kondisi geografis yang rentan semakin memperparah dampak bencana.

Selain itu, Indonesia juga menghadapi berbagai bencana lain, di antaranya:

* 546 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla)

* 218 kejadian tanah longsor

* 36 kejadian kekeringan

* 23 kejadian gempa bumi

* 20 kejadian gelombang pasang dan abrasi

* 6 erupsi gunung api

* 1 tsunami

Fakta ini menunjukkan bahwa sepanjang 2025, bencana tidak hanya berulang, tetapi juga semakin kompleks dan mematikan. Ironisnya, mitigasi dan upaya pencegahan pemerintah masih buruk, sementara saat bencana terjadi, penanganan kuratif seperti evakuasi dan pemulihan berjalan lamban.

Indonesia sejatinya dikenal sebagai negara rawan bencana. Namun, realitas menunjukkan bahwa pemerintah kerap menyepelekan potensi risiko, sehingga bersikap gelagapan ketika bencana datang. Akibatnya, banyak nyawa melayang yang sejatinya bisa diselamatkan bila mitigasi dilakukan secara serius dan sistematis.

Lebih jauh, kongkalikong antara penguasa dan pengusaha sering kali menjadi akar masalah. Alih fungsi hutan, eksploitasi sumber daya alam, dan pembangunan berbasis kepentingan ekonomi semata telah merusak keseimbangan alam. Kerusakan inilah yang kemudian “dibayar mahal” oleh rakyat dalam bentuk banjir bandang, longsor, karhutla, dan bencana lainnya.

Masalah ini tidak bisa dilepaskan dari paradigma kepemimpinan kapitalisme yang dianut saat ini. Dalam sistem ini, penguasa tidak bertindak sebagai raa’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung rakyat). Negara lebih berperan sebagai fasilitator kepentingan modal, bukan penjaga keselamatan jiwa rakyat. Akibatnya, keselamatan manusia sering dikalahkan oleh kepentingan profit.

Rentetan bencana 2025 menunjukkan bahwa solusi parsial tidak lagi memadai. Diperlukan perubahan sistemik menuju sistem Islam, di mana penguasa bertindak sebagai raa’in dan junnah, bertanggung jawab penuh atas keselamatan rakyat dari segala bentuk mara bahaya, termasuk bencana alam.

Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), pencegahan menjadi prioritas utama. Negara akan mengatur lingkungan sesuai syariat Islam, menjaga hutan, sungai, dan sumber daya alam sebagai amanah publik, serta menerapkan tata ruang berbasis keselamatan jiwa, bukan kepentingan bisnis. Eksploitasi yang merusak alam akan dicegah secara tegas.

Apabila bencana tetap terjadi, negara Khilafah akan melakukan penanganan darurat yang cepat, menyeluruh, dan terkoordinasi, dengan memanfaatkan seluruh teknologi terbaik yang dimiliki. Negara tidak akan bergantung pada utang atau bantuan asing, karena pendanaan berasal dari Baitul Mal, yang memang diperuntukkan untuk menjamin kebutuhan dan keselamatan rakyat.

Kaleidoskop Bencana 2025 adalah peringatan keras bahwa bencana berulang bukan semata takdir alam, melainkan buah dari sistem yang gagal melindungi rakyat. Selama solusi masih bersandar pada paradigma kapitalisme, selama itu pula bencana akan terus berulang dengan korban yang semakin besar. Islam menawarkan jalan keluar sistemik—kepemimpinan yang amanah, kebijakan yang berpihak pada keselamatan jiwa, dan negara yang benar-benar hadir sebagai pelindung rakyat. ***