Oleh : Suciyati
Banjir besar, tanah longsor, gempa Bumi, erupsi gunung api, hingga kebakaran hutan mewarnai perjalanan Indonesia sepanjang tahun 2025. Hampir seluruh wilayah terdampak, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku.
Sepanjang 13 hari pertama tahun 2025 saja, Indonesia telah mengalami 74 kejadian bencana, mayoritas berupa banjir. Kemudian di penghujung tahun, bencana besar kembali terjadi. Banjir bandang dan tanah longsor melanda tiga provinsi di Sumatra dan menewaskan ribuan orang.
Kaleidoskop 2025 ini merangkum bencana terbesar di Indonesia sepanjang tahun ini, berdasarkan laporan berbagai sumber.
- Banjir dan tanah longsor di Pekalongan (Januari 2025)
- Banjir di Demak (Februari 2025)
- Banjir di Jabodetabek (Maret 2025)
- Gempa di Bengkulu M 6,3 (Mei 2025)
- Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) (Mei–Juli 2025)
- Longsor Banjarnegara (November 2025)
- Erupsi Gunung Semeru (November 2025)
- Banjir dan longsor Sumatera (Akhir November-Desember 2025)
Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga 4 Desember 2025, Indonesia telah mengalami 2.997 kejadian bencana alam sepanjang tahun.
Data ini menegaskan bahwa negeri ini masih berada di zona risiko tinggi terhadap bencana, terutama hidrometeorologi.
Banjir dan Cuaca Ekstrem Jadi Penyumbang Terbesar
Banjir menempati posisi teratas dengan 1.503 kejadian, disusul cuaca ekstrem sebanyak 644 kasus. Tingginya intensitas hujan, alih fungsi lahan, dan kondisi geografis menjadi faktor yang memperkuat kerawanan tersebut.
Bencana Lain juga Mengancam
Selain banjir dan cuaca ekstrem, Indonesia juga menghadapi:
* 546 kebakaran hutan dan lahan (karhutla)
* 218 kejadian tanah longsor
* 36 kejadian kekeringan
* 23 gempa bumi
* 20 kejadian gelombang pasang dan abrasi
* 6 erupsi gunung api
* 1 tsunami
Sumatra berduka, di pengujung tahun 2025 bencana besar melanda sebagian wilayah Sumatra Barat, Sumatra Utara, Aceh dan beberapa kota lainnya. Kota-kota tersebut diterjang longsor dan banjir kiriman dari hutan yang sudah tidak rimbun lagi. Bencana ini menelan korban yang tidak sedikit.
Menurut data yang dilansir dari cnnindonesia pada tanggal 1/12/2025 pada pukul 17.00 WIB korban sudah mencapai 604 orang meninggal, 464 orang hilang, 2.600 korban luka, 1,5 juta orang terdampak, dan jumlah pengungsi 570 ribu. BNPB juga menyampaikan sebanyak 3,500 rumah rusak berat, 4.100 rusak sedang, 20.500 rusak ringan. 271 jembatan dan 282 fasilitas pendidikan rusak, (cnnindonesia.com 1/12/2025).
Melihat kerusakan yang begitu besar tentu ini bukan bencana biasa, banjir bandang terlihat begitu parah. Bukan cuma air deras yang mengalir, tetapi membawa material yang tidak biasanya yaitu kayu gelondongan yang ikut terbawa arus menerjang pemukiman warga. Selain daya tampung wilayah yang menurun, curah hujan yang tinggi, tentu ada faktor lain yang menyebabkan semua bencana besar ini terjadi.
Faktor alam dijadikan kambing hitam dalam bencana yang terjadi di Sumatra. Cuaca ekstrim memang ada. Curah hujan yang tinggi di akibatkan oleh adanya siklon tropis senyar dan koto yang terjadi di selat Malaka. Menurut BMKG siklon ini berlangsung tanggal 26 Nopember selama 48 jam. Kemunculan siklon ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah. Tetapi kemunculan kedua siklon ini tidak akan menjadi bencana yang sangat besar apabila keseimbangan alam terjaga.
Beredasarkan data WALHI selama periode 2016-2023 sekitar 1,4 juta hektar lahan yang berada di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Aceh telah mengalami deforestasi. Lahan ini digunakan untuk lahan pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan proyek energi yang telah dilegitimasi oleh penguasa. Kegiatan eksploitasi SDA ini memperparah kerapuhan infrastruktur ekologis.
Bencana yang terjadi saat ini bukan hanya faktor alam atau sekedar ujian semata, tetapi dampak kejahatan lingkungan yang telah berlangsung lama dan dilegitimasi kebijakan penguasa (pemberian hak konsesi lahan, obral izin perusahaan sawit, izin tambang terbuka, tambang untuk ormas, uu minerba, uu cipta kerja dll).
Fakta sudah di depan mata. Kayu gelondongan yang terpotong rapi, tidak mungkin turun dari langit bersama hujan yang ikut menerjang pemukiman warga. Keserakahan para pengusaha dan penguasa yang membabat hutan menjadi lahan komersial menjadi penyebab semua bencana terjadi begitu dahsyat. Begitulah sikap penguasa yang ada dalam sistem kapitalis. Penguasa dan pengusaha kerap kongkalikong untuk menjarah hak milik rakyat atas nama pembangunan. Mereka eksploitasi kekayaan alam demi keuntungan materi semata, tanpa memperhatikan lingkungan, karena lingkungan tidak bisa menguntungkan.
Ragam bencana yang menyapa, semestinya menjadi bahan muhasabah tuan penguasa. Sebab tidak hanya gagal melindungi kekayaan alam yang rusak akibat ulah korporasi serakah. Tuan penguasa juga gagal mengantisipasi bencana alam dengan sistem mitigasi bencana yang mumpuni.
Lemahnya sistem mitigasi bencana ini jelas patut dikoreksi. Sebab berulang kali bencana mengguncang, tapi tuan penguasa tak kunjung sadar. Padahal mitigasi yang baik sangat diperlukan untuk meminimalkan dampak bencana, khususnya jumlah korban jiwa.
Minimnya anggaran penanggulangan bencana berdampak pada minimnya anggaran untuk pencegahan, pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan masyarakat. Tak ayal, masyarakat pun tak terlatih menghadapi bencana alam. Padahal penting mengedukasi masyarakat agar tidak gagap menghadapi bencana.
Bencana bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah ujian kemanusiaan sekaligus ujian kepemimpinan. Ketika banjir meluap, tanah longsor merenggut nyawa, atau gempa meratakan permukiman, yang paling dinanti rakyat bukan hanya bantuan logistik, tetapi kehadiran negara melalui para pejabatnya. Di saat-saat genting itu, empati, ketegasan, dan tanggung jawab pemimpin menjadi penentu harapan. Namun realitas di lapangan sering menghadirkan ironi. Di tengah jerit korban dan duka yang mendalam, masih ada pejabat yang justru meremehkan bencana. Penderitaan rakyat disederhanakan dengan pernyataan normatif, candaan yang tidak pada tempatnya, atau sikap abai yang jauh dari empati. Sikap semacam ini bukan hanya melukai perasaan korban, tetapi juga mencederai rasa keadilan dan kemanusiaan. Dalam Islam, kepemimpinan bukanlah simbol kekuasaan, melainkan amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawaban. Allah SWT berfirman: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا. Artinya; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisā’ [4]: 58). Amanah kepemimpinan menuntut kepekaan moral dan keberpihakan pada keselamatan rakyat. Ketika pejabat bersikap dingin dan berjarak dalam situasi bencana, yang tampak bukan sekadar kelalaian personal, melainkan krisis tanggung jawab publik. Padahal, yang dipertaruhkan dalam setiap bencana bukan hanya data dan anggaran, tetapi nyawa manusia, masa depan keluarga, serta kepercayaan rakyat kepada negara. ***











