Oleh: Muryani
“Masa muda masa yang berapi api sepenggal bait lagu yang mencerminkan di saat muda tempat mencoba segala hal”. Masa depan negara terancam bahaya. banyak generasi yang terjerat pinjol dan judol. Di Kulon Progo, seorang siswa SMP sudah sebulan tidak sekolah karena terjerat judol dan pinjol.
Awalnya murid tersebut mencoba game online, tetapi ternyata ada unsur judi di dalamnya. Ia pun kerap bermain judol tersebut hingga kecanduan. Untuk membayar judol, ia pinjam uang ke pinjol. Ia juga pinjam uang ke teman-teman sekolah demi bisa melunasi pinjol. Setelah utang pada temannya menggunung, ia tidak berani sekolah dan akhirnya membolos hingga sebulan lamanya.
Data demografi menunjukkan bahwa pemain judol usia di bawah 10 tahun mencapai 80 ribu anak (2% dari pemain). Adapun pemain usia 10—20 tahun sebanyak 440.000 (11%). (PPATK, 6-11-2023). Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyebut kasus ini menunjukkan kegagalan sistem pendidikan dan pengasuhan karakter, bukan hanya kegagalan individu karena fenomena ini menimpa banyak anak.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Maria Yohana Esti Wijayanti menilai terjadinya kasus siswa SMP terjerat pinjol dan judol menunjukkan bahwa ada yang sangat keliru dalam cara mendidik dan membimbing generasi muda. Menurutnya, fenomena ini menunjukkan adanya krisis literasi digital dan lemahnya pengawasan sosial terhadap generasi muda di tengah derasnya arus digitalisasi. Ia pun meminta pemerintah memperkuat literasi digital dan pendidikan karakter di sekolah untuk mencegah maraknya kasus anak sekolah terjerat judol dan pinjol.
Saat ini anak sangat mudah mengakses konten judol. Ini karena konten judol menyisip ke situs-situs pendidikan, game online, dan media sosial. Pada 2024 Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) menemukan ada 14.823 konten judol menyisip di situs lembaga pendidikan dan ada 17.001 konten menyisip di situs lembaga pemerintahan. Meski Kemkomdigi sudah melakukan take down hingga 10 ribu konten judol setiap hari, konten judol masih bertebaran di berbagai situs web dan platform digital. (Komdigi, 22-5-2024).
Judol didesain untuk membuat pelakunya ketagihan, bahkan kecanduan. Mereka terdorong untuk terus mencoba menang. Padahal, sistem judol juga di-setting agar pemain kalah, meski pada awalnya mereka sempat diberi kesempatan menang oleh bandar. Setelah ketagihan, mereka sulit untuk berhenti
Lingkaran setan ini terus berlangsung hingga anak bisa melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, penipuan, hingga bunuh diri Bahkan, anak yang sudah telanjur kecanduan judol, sulit untuk keluar, butuh terapi khusus untuk menyembuhkannya.
Anak yang mengalami gambling akan menunjukkan gangguan dalam pola makan, tidur, olahraga, dan perilaku terkait kesehatan lainnya. Hal ini berdampak buruk terhadap kesehatan fisik dan mental anak.
Kondisi anak terjerat judol dan pinjol tidak terjadi begitu saja. Namun, ada fungsi pengawasan yang tidak berjalan. Pihak yang seharusnya menjaga dan melindungi anak dari perilaku negatif, termasuk judol dan pinjol adalah individu, orang tua, sekolah/masyarakat, serta negara
Orang tua kini banyak abai terhadap anak. Beban ekonomi yang harus orang tua tanggung makin berat karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh negara. Akibatnya, mayoritas waktu orang tua habis untuk bekerja. Setelah sampai di rumah, jiwa dan raga sudah lelah sehingga tidak sempat memperhatikan pendidikan anak. Kondisi orang tua dan anak yang berjauhan juga mengakibatkan lemahnya pengawasan orang tua. Orang tua harus bekerja di luar kota sehingga waktu bertemu anak sangat minim.
Namun, penyebabnya bukan faktor tunggal dari sisi kelalaian orang tua, melainkan ada faktor absennya negara dalam mendukung peran orang tua.
Saat ini kurikulum makin sekuler dan materialistis. Anak belajar di sekolah sekadar untuk bisa menjawab pertanyaan ujian, bukan untuk menjadi sosok yang berkepribadian mulia. Aspek akidah, ketaatan pada syariat, adab, dan akhlak tidak menjadi hal utama dalam pendidikan. Sekolah sibuk dengan pemberian materi-materi pelajaran semata demi tujuan kapitalistik. Akibatnya, akhlak dan perilaku anak bermasalah.
Miris, ketika ada guru yang hendak bersikap tegas untuk meluruskan perilaku anak dan mengajari mereka akhlak mulia, orang tua justru bersikap resisten dan melaporkan guru pada kepolisian. Jasa guru mendidik anak bangsa justru dibalas dengan ancaman kriminalisasi. Akhirnya guru enggan meluruskan siswa yang berperilaku buruk.
Sementara itu, literasi digital dan pendidikan karakter tidak mampu membentengi anak dari judol dan pinjol karena tidak berakar pada pemahaman yang kukuh, yaitu akidah. Dua materi tersebut sebatas menjadi norma yang disampaikan pada murid, tetapi tidak membekas pada akal dan jiwa mereka.
Negara memiliki regulasi yang melarang judol dan pinjol ilegal, tetapi pelaksanaannya jauh dari harapan. Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang menyatakan bahwa segala bentuk perjudian, baik konvensional maupun digital, adalah ilegal dan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp25 juta. UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat 2 juga mengancam pelaku judi online akan dipidana hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah.
Namun, negara hanya berperan sebagai regulator, yaitu pembuat regulasi. tanpa ada upaya serius untuk memberantas judol hingga tuntas. Kalaupun ada upaya Kemenkomdigi untuk menangani konten judol, nyatanya mati satu tumbuh seribu. Antara penanganan oleh pemerintah dengan “manuver” bandar sungguh tidak seimbang. Ini menunjukkan bahwa negara kalah melawan bandar judol.
Bahkan, pemerintah membuat wacana absurd, yaitu melegalkan judol agar pajak dan perputaran uangnya tetap di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pengaruh pengusaha judol sudah sampai ke lingkaran kekuasaan. Oknum aparat pemerintah banyak yang terjerat judol. Bahkan, pernah ada oknum anggota DPR yang tepergok bermain judol di tengah-tengah rapat yang seharusnya membahas kemaslahatan rakyat. Dengan banyaknya oknum yang terjerat judol, upaya pemberantasan judol makin sulit.
Lebih lagi sistem hukum sekarang lemah. Hukum sekuler tidak mampu memberi sanksi tegas yang menjerakan pada pelaku judol. Bandar judol bahkan jauh dari jangkauan hukum. Mereka seolah-olah kebal hukum karena kekuatan uang yang mereka miliki.
Generasi muda menjadi sasaran empuk pengusaha judol dan pinjol. Jika sekian persen saja anak-anak terjerat judol, terbayang besarnya keuntungan bandar. Yang menjadi korban adalah generasi muda dan masa depan negara ini. Dengan kualitas generasi yang sudah morat-marit karena terjerat judol dan pinjol
Harus ada perubahan cara pandang terhadap judol. Saat ini di bawah sistem kapitalisme, judol dianggap sebagai solusi cepat untuk memperoleh kekayaan dan keluar dari kemiskinan tanpa harus kerja keras. Meski judol sudah jelas diharamkan agama dan melanggar aturan negara, tetap saja judol merajalela.
Hal ini karena sistem sekuler kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama, sedangkan halal/haram diabaikan. Selama sistem kapitalisme ini masih diterapkan, judol dan pinjol akan terus merajalela dan generasi menjadi korbannya. Saat ini masa depan bangsa dan negara sedang dipertaruhkan. Jika tidak segera mengganti kapitalisme dengan sistem yang sahih, yaitu Islam, nasib generasi dan negara akan hancur.
Sistem Islam berasaskan akidah Islam. Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya akan membentuk sudut pandang pada diri seorang muslim terhadap segala sesuatu, termasuk judol dan pinjol, yaitu bahwa setiap perbuatan muslim harus terikat dengan syariat.
Firman Allah Taala: “Kami menurunkan kepada kamu Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS An-Nahl [16]: 89).
Berdasarkan asas akidah ini, individu, sekolah/masyarakat, dan negara akan memandang pinjol dan judol sesuai pandangan syariat, yaitu bahwa keduanya haram. Hal ini berdasarkan firman Allah َ SWT: “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Maidah [5]: 90).
Kesadaran terhadap keharaman judol dan pinjol tidak bisa dibiarkan terwujud secara alami, tetapi negara harus serius mewujudkannya di tengah masyarakat. Langkah negara (Khilafah) yang tempuh adalah menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga menghasilkan generasi yang bertakwa.
Dengan sistem pendidikan Islam akan terwujud anak-anak (generasi muda) yang bertakwa kepada Allah Taala sehingga terhindar dari kemaksiatan, termasuk judol dan pinjol.
Selain pendidikan di sekolah, anak-anak juga mendapatkan pendidikan dari orang tuanya di rumah. Orang tua bertanggung jawab menanamkan akidah, ketakwaan, dan akhlak mulia pada anak-anaknya.
Khilafah juga melindungi generasi muda dari jeratan judol dan pinjol dengan memutus total akses konten pinjol dan judol Jika ada platform digital yang terafiliasi atau memberi ruang pada judol dan pinjol, negara akan menutupnya total. Platform tersebut baru boleh beroperasi jika taat pada syariat.
Adapun terkait game online, meski hukum asalnya permainan itu mubah, tetapi jika diduga kuat melalaikan dari kewajiban, seperti salat, menuntut ilmu, dll. serta berdampak negatif seperti kecanduan dan kekerasan dan justru disisipi konten judol, negara akan melarang peredaran game online tersebut. Selain itu, profil masyarakat Islam bukanlah profil orang yang suka menghabiskan waktu untuk aktivitas yang sia-sia (tidak produktif) seperti game online. Yang bisa menyebabkan kecanduan yang membahayakan mental generasi.
Negara akan melakukan langkah hukum yang menjerakan terhadap bandar judol, pemilik usaha pinjol (legal maupun ilegal), serta aparat negara yang terlihat judol dan pinjol. Masyarakat yang terlibat juga akan diberi sanksi tegas. Dengan demikian akan terwujud rasa jera. Sanksi bagi pelaku dan bandar judi adalah takzir.
“Setiap orang yang memiliki harta dengan satu akad dari berbagai akad yang batil, sedangkan ia mengetahui maka dia dihukum dengan hukuman cambuk (maksimal sepuluh kali cambukan) dan dipenjara hingga 2 (dua) tahun.” (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām al-‘Uqūbāt, hlm. 99).
Bagi pelaku judol yang masih anak-anak (belum balig), mereka tidak dihukum, tetapi tetap akan dinasihati agar jera. Negara akan memanggil orang tuanya dan memberi sanksi kepada orang tuanya karena melalaikan pendidikan anak.
Khilafah memberi solusi sistemis untuk melindungi generasi dari jeratan judol dan pinjol. Dengan demikian, negara akan memiliki generasi calon pemimpin yang cemerlang. Wallahualam bissawab.












