Oleh : Oktiwi Rani
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Kurniasih Mufidayati menyoroti bantuan pembebasan Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk korban bencana Sumatera dari Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek). Kurniasih menyarankan pembebasan UKT tersebut bisa dilakukan tanpa syarat administrasi yang rumit.
Catatan penting kami adalah pada implementasinya di lapangan. Jangan sampai mahasiswa yang rumahnya hanyut atau orangtuanya menjadi korban, masih dibebani dengan syarat administrasi yang rumit,” kata Kurniasih dikutip dari Antara, Jumat (12/12/2025).
Menurut Kurniasih, bantuan semacam ini perli diapresiasi karena menjadi wujud kehadiran negara pada masyarakat yang sedang tertimpa musibah.(Kompas.com sabtu 13/12/2025)
Paradigma kepemimpinan sekuler kapitalistik seperti ini tentu saja tidak layak dipertahankan. Sistem ini terbukti telah melahirkan para penguasa zalim yang hanya mampu memproduksi kebijakan-kebijakan destruktif yang menonjolkan nilai-nilai materi, tetapi mereduksi nilai-nilai ruhiah, kemanusiaan, dan moral. Lihat saja, apa yang disebut sebagai “pembangunan” arahnya justru disetir oleh kepentingan kapitalisme global dan proyek-proyeknya dikuasai kalangan oligarki yang rakus tidak kepalang. Sampai-sampai pembangunan pun senantiasa identik dengan kerusakan dan keburukan, termasuk dengan munculnya berbagai bencana yang tidak berkesudahan.
Semua ini niscaya karena sistem ini memang sudah cacat sejak asas. Ia tegak di atas paham yang pemisahan agama dari kehidupan sekaligus tidak mengenal halal-haram dan begitu mengagungkan paham kebebasan, termasuk kebebasan kepemilikan yang meniscayakan munculnya sikap egois dan serakah tanpa batasan.
Adapun negara dalam sistem ini justru ada untuk menjamin kebebasan tersebut, sedangkan kursi kekuasaan menjadi jalan para pemilik modal dan kroninya untuk meraih sebesar-besar keuntungan materi dengan menciptakan berbagai aturan yang mengakomodasi kepentingan mereka. Akan tetapi, pada saat yang sama, mereka melegalkan kerusakan. Sebut saja UU Minerba, UU Ciptaker, UU perkebunan, Peraturan Pemerintah yang memberi kewenangan ormas mengelola tambang, berbagai peraturan pemerintah yang mengatur perizinan untuk pembukaan lahan untuk kelapa sawit dan tambang terbuka, dan lain-lain. Semuanya kental dengan kepentingan para pemilik modal dan akhirnya menuai berbagai persoalan.
Sementara itu, posisi rakyat dalam sistem ini hanyalah sebagai objek penderita. Mereka hanya dibutuhkan sebagai alat legitimasi bagi para oligark duduk di kursi kekuasaan dengan jalan memberi mereka hak suara pada pesta lima tahunan. Seakan-akan rakyatlah pemilik kedaulatan sekaligus pemilik hakiki kekuasaan. Padahal, slogan demokrasi ini hanya tipuan (yang sayangnya) masih ampuh digunakan hingga sekarang.
Negara seharusnya hadir paling depan, bukan justru terkesan mengambil posisi penonton. Pendidikan darurat memang disebut-sebut, tetapi implementasinya minim gaung dan belum menjawab kebutuhan nyata, yakni tersedianya ruang belajar yang aman, guru yang memadai, serta kepastian biaya pendidikan, termasuk pembebasan UKT bagi mahasiswa korban bencana.
Jika kondisi ini dibiarkan maka bencana alam akan bertransformasi menjadi bencana generasi. Anak bangsa dimungkinkan kehilangan hak belajarnya, tertinggal secara akademik, dan pada akhirnya terpinggirkan secara sosial. Generasi emas yang diharapkan niscaya menjadi generasi yang mendatangkan kecemasan bagi masa depan bangsa.
Bahwa bencana adalah ketetapan Allah Swt., tentu benar adanya. Bencana bisa terjadi kapan pun dan di mana pun sebagai ujian dan peringatan bagi manusia. Namun, Islam memberi tuntunan untuk menghindarinya, sekaligus menuntun cara menghadapinya, termasuk dalam hal ini mengatur soal mitigasi bencana.
Mitigasi sendiri secara umum diartikan sebagai serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana, baik lewat pembangunan fisik ataupun penyadaran, serta peningkatan kemampuan dalam menghadapi ancaman bencana.
Dalam Islam, mitigasi tentu menjadi tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya sebagai rain dan junnah umat tadi, yang pertanggungjawabannya sangat berat di akhirat. Adapun aktivitas menolong yang bisa dan biasa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, maka itu merupakan kebaikan yang dianjurkan oleh agama dan tetap didorong oleh penguasa.
Dalam hal ini, pemimpin Islam akan membuat berbagai kebijakan khusus, mulai dari penataan lingkungan dikaitkan dengan strategi politik ekonomi Islam yang menjamin kesejahteraan orang per orang. Juga sistem keuangan, pertanahan hingga sanksi untuk mencegah pelanggaran.
Adapun di tempat-tempat yang rawan bencana, harus ada kebijakan yang lebih khusus lagi. Tentu tidak hanya menyangkut kesiapan mitigasi risiko, tetapi juga soal manajemen kebencanaan (disaster management). Mulai dari pendidikan soal kebencanaan, pembangunan infrastruktur, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang lebih sistemik dan terpadu. Begitu pun soal sistem logistik kedaruratan, serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan benar-benar akan diperhatikan.
Semua ini sangat niscaya dilakukan karena ditopang dengan sistem keuangan Islam yang sangat kuat. Sumber-sumber pemasukan negara begitu besar, terutama dari kepemilikan umum seperti hasil pengelolaan SDA yang secara syar’i wajib masuk ke kas negara. Dengan demikian, persoalan dana tidak akan menjadi penghambat yang serius bagi mitigasi bencana. Atau bahkan menjadi alasan bagi aktor negara asing maupun lembaga nonnegara untuk membangun pengaruh politik melalui tawaran utang dan bantuan.
Kondisi ideal seperti ini memang akan sulit diwujudkan dalam sistem sekarang. Paradigma kapitalisme sekuler neoliberal telah menjadikan kepemimpinan tegak di atas kepentingan pemilik modal, bukan tuntunan agama (Islam).
Alih-alih maksimal menjauhkan dan atau membantu rakyat dari kebinasaan, kekuasaan oligarki justru menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana berkepanjangan. Kalaupun ada yang dilakukan bagi rakyatnya, pasti tidak lepas dari rumus hitung-hitungan.
Hanya sistem kepemimpinan Islam yang bisa diharapkan mampu menyelesaikan problem bencana dengan solusi yang mendasar dan tuntas. Dimulai dari fondasi negara dan kepemimpinan yang lurus, yakni berlandas tauhidullah, lalu ditopang oleh penerapan syariat Islam secara kafah. Inilah yang akan menjadi pintu pembuka bagi datangnya rida Allah Swt. sekaligus kebaikan hidup yang dirasakan oleh semua.
Oleh karenanya, sudah saatnya umat bersegera mewujudkan kepemimpinan Islam. Tentu dimulai dengan aktivitas dakwah pemikiran yang bertarget memahamkan umat dengan akidah dan hukum-hukum Islam dengan pemahaman yang benar dan komprehensif.
Harapannya, tergambar pada diri umat bahwa Islam adalah solusi seluruh problem kehidupan, sekaligus jalan keselamatan. Tidak hanya menyelamatkan mereka dari bencana di dunia saja, tetapi juga bencana yang lebih berat di akhirat.Wallahu A’lam Bishawab.






