Infrastruktur Jalan Batu Bara Siapa yang Diuntungkan?

Oleh : Kak Ada

Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan (Sumsel) melalui Gubernurnya, Herman Deru, telah mendorong percepatan pembangunan jalan khusus batu bara di wilayah Kabupaten Muara Enim dan Kabupaten Lahat, https://news.detik.com(20/05/2025).

Hal itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Pemprov Sumsel, Pemkab Muara Enim, Pemkab Lahat, Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional Sumsel, PT Kereta Api Indonesia (KAI), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan sejumlah pelaku usaha terkait.

Langkah percepatan pembangunan jalan khusus ini memang patut diapresiasi dari segi keselamatan dan kelancaran transportasi. Sebab, dengan adanya jalur khusus, risiko kecelakaan akibat pertemuan kendaraan hauling dengan kendaraan umum di jalan nasional dapat dikurangi secara signifikan. Namun, di sisi lain, ada ironi besar di balik kebijakan ini, jalan tersebut memang dibangun untuk kendaraan hauling batu barayang notabene adalah milik korporasi besar, baik BUMN (PTBA) maupun perusahaan swasta transportir—sehingga secara kasat mata, manfaat utama justru mengalir ke pihak swasta, bukan ke masyarakat umum.

Padahal, pembangunan infrastruktur ini tidak hanya menggunakan biaya yang tidak kecil, melainkan juga menggunakan dukungan dan legitimasi dari negara, yang artinya bersumber dari kekayaan negara yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ironisnya, justru perusahaan tambang  batu bara yang paling diuntungkan melalui penghematan biaya transportasi, percepatan distribusi, dan efisiensi logistik yang semakin tinggi. Mereka menikmati jalur eksklusif yang dibangun dengan legitimasi negara, sementara masyarakat umum hanya kebagian efek “pengurangan kemacetan” sebuah keuntungan yang tidak sebanding dengan manfaat ekonomis yang dinikmati oleh pihak swasta.

Lebih dari itu, dalam pernyataannya, Herman Deru juga menegaskan kendaraan hauling batu bara wajib menggunakan plat nomor Sumsel agar pajaknya masuk ke kas daerah (https://news.detik.com(20/05/25)

Kebijakan ini memang terdengar strategis di permukaan, tetapi lagi-lagi yang paling diuntungkan tetaplah pemilik tambang dan transporter batu bara. Mengapa? Karena biaya untuk mengurus plat kendaraan masih jauh lebih kecil dibanding keuntungan yang mereka raih dari kelancaran distribusi batu bara melalui jalan khusus tersebut.

Hal ini semakin menguatkan kesan bahwa negara dalam hal ini lebih banyak bertindak sebagai “fasilitator” bagi kepentingan industri ketimbang sebagai pelindung dan pengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Fakta bahwa PT Bukit Asam (PTBA), meskipun berstatus BUMN, tetap bergerak dalam kerangka korporasi kapitalistik membuat keuntungan hasil tambang tidak serta-merta kembali ke rakyat Sumsel secara adil. PTBA tetap tunduk pada mekanisme pasar dan dividen yang harus disetorkan ke pemegang saham, sehingga potensi besar Sumsel sebagai penghasil batu bara tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Dalam sistem kapitalisme modern, perusahaan tambang batu bara seperti PT Bukit Asam Tbk (meskipun BUMN) dapat menjual sebagian sahamnya di bursa efek untuk menghimpun modal. Ini memungkinkan pihak swasta—baik investor domestik maupun asing—untuk memiliki kepemilikan (meskipun sebagian) terhadap hasil tambang yang seharusnya adalah milik rakyat. Melalui mekanisme ini, pihak swasta berhak mendapatkan dividen (keuntungan) dan bahkan punya hak suara dalam kebijakan perusahaan. Dengan kata lain, SDA yang semestinya menjadi milik rakyat justru berubah menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar modal.

Ini adalah bentuk privatisasi SDA yang secara nyata menegaskan dominasi kapitalisme dalam pengelolaan kekayaan alam. Sistem ini melegalkan pihak swasta untuk  keuntungan sebesar-besarnya dari SDA dengan dalih investasi. Padahal, dalam pandangan Islam, SDA adalah milik umum yang haram dikelola untuk kepentingan individu atau korporasi. Rasulullah ﷺ bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Dalam perspektif ideologi Islam, sumber daya alam seperti batu bara ini adalah kepemilikan umum yang pengelolaannya sepenuhnya diamanahkan kepada negara untuk dikembalikan ke rakyat. Negara dalam sistem Islam tidak boleh menyerahkan pengelolaan SDA kepada swasta atau korporasi, melainkan harus mengelolanya langsung sehingga hasilnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan publik lainnya—bukan untuk memperkaya segelintir elit bisnis.

Karena itulah, paradigma pembangunan jalan khusus batu bara di Sumsel ini perlu dikritisi lebih tajam. Pertama, dari segi pembiayaan, siapa yang membayar, siapa yang paling diuntungkan? Kedua, dari segi tata kelola SDA, apakah negara menjalankan fungsinya sebagai pengelola amanah rakyat ataukah hanya menjadi fasilitator kepentingan bisnis swasta? Ketiga, dari segi keadilan, apakah keuntungan dari pembangunan ini benar-benar dirasakan rakyat secara proporsional atau justru menjadi bentuk “subsidi” negara bagi korporasi tambang?

Oleh sebab itu, pembangunan jalan khusus batu bara ini hendaknya tidak semata-mata dilihat dari sisi “kemacetan berkurang” atau “keselamatan meningkat”, melainkan juga harus ditinjau secara mendalam dari aspek distribusi manfaatnya. Kalau jalan khusus ini justru menjadi jalan tol keuntungan bagi korporasi tambang, maka pembangunan ini, sekeras apa pun dinarasikan demi rakyat, pada akhirnya hanyalah proyek yang menguntungkan pihak swasta.

Sistem demokrasi sekuler yang dijalankan di Indonesia, membuka peluang bagi kepentingan modal untuk mendikte kebijakan negara. Demokrasi menjadikan suara rakyat hanya sebagai angka, sementara keputusan-keputusan strategis seringkali diambil melalui kompromi elit yang dibiayai oleh kepentingan pemilik modal. Kapitalisme, sebagai ideologi yang menjadi nafas demokrasi ini, menekankan kepemilikan individu (termasuk perusahaan) atas sumber daya ekonomi, termasuk SDA.

Dalam kerangka inilah pembangunan jalan khusus batu bara di Sumsel bukan hanya wujud pembangunan infrastruktur, tetapi juga manifestasi bagaimana negara justru berperan sebagai fasilitator bagi kepentingan kapital swasta. Negara membangun jalan, tetapi yang paling diuntungkan adalah korporasi tambang batu bara yang mengangkut hasil tambangnya dengan lebih cepat dan murah. Sementara itu, keuntungan dari SDA yang dikeruk pun dialirkan ke pemilik saham yang bisa jadi tidak tinggal di Sumsel, bukan secara adil ke rakyat Sumsel sendiri.

Islam secara memandang SDA sebagai milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang wajib dikelola negara secara langsung dan hasilnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Negara dalam sistem Islam (Khilafah) bertindak bukan sebagai fasilitator kapital swasta, tetapi sebagai pengelola amanah umat. Tidak ada mekanisme saham yang memperjualbelikan SDA kepada investor—karena SDA adalah milik rakyat. Negara mengelola SDA untuk membiayai pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan kesejahteraan rakyat.

Khilafah tidak akan membiarkan korporasi atau individu memiliki hak eksklusif atas SDA. Negara juga tidak boleh memberikan konsesi jangka panjang yang menguntungkan segelintir orang. Sistem ekonomi Islam justru menempatkan SDA sebagai instrumen kesejahteraan rakyat dan memproteksi SDA dari privatisasi kapitalistik.

Untuk itu,  sudah saatnya paradigma pembangunan infrastruktur dan pengelolaan SDA di Sumsel (dan di Indonesia secara umum) dikembalikan pada prinsip Islam yang adil. SDA adalah milik umat, pengelolaannya dilakukan oleh negara secara langsung, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik dan kesejahteraan sosial. ***