Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan ucapan selamat Hari Santri Nasional Tahun 1447 Hijriah kepada para santri, santriwati, kiai, nyai, hingga keluarga besar pondok pesantren di seluruh tanah air. Dalam ucapannya, Kepala Negara menekankan bahwa Hari Santri merupakan momentum untuk mengenang jasa para ulama dan santri yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Presiden Prabowo mengingatkan kembali kontribusi santri dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, merujuk pada momen Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dipelopori KH Hasyim Asy’ari. Menurut Presiden Prabowo, semangat jihad yang digelorakan para santri 80 tahun silam tetap relevan hingga hari ini, yaitu menjaga keutuhan bangsa dengan ilmu dan keimanan.
Tema Hari Santri Nasional tahun ini, “Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Dunia”, disebut Presiden Prabowo sebagai cerminan tekad santri masa kini untuk berkontribusi pada kemajuan bangsa. Meski demikian, Presiden Prabowo menekankan bahwa santri harus siap menjadi bagian dari kemajuan global tanpa melepaskan akar nilai keislaman dan keindonesiaan, (Kementrian sekretariat negara Republik Indonesia, Jumat, 24/10/2025).
Santri merupakan pelajar di lembaga pendidikan pesantren. Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan misi mengader umat menjadi tafaqquh fiddin dan memotivasi kader ulama sebagai warasat al-anbiya. Pesantren berperan juga menyebarkan agama Islam dengan dakwah dan jihad.
Sejarah juga mencatat upaya ulama dan para santri melawan penjajah Belanda, seperti perlawanan Ki Bagus Rangin dari Majalengka bersama santri Cirebon (1802—1812). Hanya saja, saat ini penjajahan fisik memang tidak lagi terjadi, tetapi penjajahan secara ideologi masih terus berlangsung di negeri ini.
Hal ini terlihat dari sistem demokrasi kapitalistik dan kebijakan ekonomi neoliberalisme yang dilancarkan oleh penguasa. Mereka menjual SDA kepada korporasi asing dan swasta. Ditambah gempuran pemikiran kufur yang terus menyerang kaum muslim, seperti ide HAM, pluralisme, hedonisme, sinkretisme, dan sekularisme yang menjadi ancaman dan gangguan nyata.
Semestinya, eksistensi pesantren ditujukan untuk terus melahirkan kader ulama yang bervisi surga, bermisi penerus aktivitas para nabi, serta membangkitkan umat dan memperjuangkan tegaknya peradaban Islam. Peran strategis santri adalah untuk kebangkitan Islam.
Gagasan kembalinya peradaban Islam melalui penerapan syariat Islam kafah tidak akan pernah bisa dihilangkan dari benak umat Islam, apalagi soal Khilafah. Para santri dan ulama mengetahui bahwa hal itu merupakan ajaran Islam dan menjadi bagian dari sejarah dunia.
Oleh karenanya, penguasa sekuler dan jajarannya berupaya melawan itu semua bagaikan menghalangi terangnya siang dan gelapnya malam. Mereka tidak mungkin membiarkan para santri dan ulama menjadi bagian yang mengancam kekuasaan mereka. Akhirnya, mereka membungkus perjuangan tersebut dengan berbagai istilah, seperti radikal, radikalisme Islam, teroris, fundamentalis, dsb.
Bahkan, tidak asing di tengah publik kalimat “pesantren sarang teroris”. Pernah juga para santri dicurigai membawa bom di dalam kotak kardus yang mereka bawa dan setelah diperiksa ternyata hanya berisi pakaian. Kurikulum di pesantren pun coba diutak-atik, hingga berusaha menghapus materi tentang jihad dan Khilafah.
Namun, apakah semua usaha itu sampai detik ini menunjukkan hasil yang baik? Jawabannya, tidak. Justru masyarakat mulai menyadari bahwa isu “radikal-radikul” tampak dipakai untuk menutupi berbagai kasus besar yang kini membelit rezim, menekan kelompok oposisi, dan demi kepentingan politik ekonomi oligarki.
Dengan demikian, Hari Santri sejatinya harus menjadi spirit kebangkitan Islam. Santri wajib berada di garda terdepan untuk mengganti sistem dan pemimpin sekuler beralih menjadi sistem dan pemimpin yang bertakwa. Merekalah pelopor kebaikan, penerus ulama demi meraih rida Allah Taala. Wallahualam….













