Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Akhir Oktober 2025 lalu media sosial Threads diramaikan dengan pembahasan terkait anak-anak zaman sekarang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Unggahannya itu viral hingga disukai lebih dari 12.500 kali dan ditayangkan ulang oleh lebih dari 207.000 pengguna lainnya. Dalam kata lain mereka yang menyukai unggahan tersebut setuju dengan pendapat si pemilik akun.
Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog pada 2024 lalu menuturkan bahwa menurunnya angka pernikahan disebabkan faktor yang pertama yakni meningkatnya pemberdayaan perempuan. Faktor kedua ialah kemiskinan dan finansial. “Faktor kemiskinan juga menjadi penghalang, sebab banyak pasangan menunda pernikahan karena kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” tuturnya, dikutip dari situs Unair. ( Kompas. Com, Sabtu, 22/11/2025).
Merosotnya angka pernikahan ini merupakan sebuah realitas. Bagi kaum muda, kekhawatiran untuk menikah dipengaruhi banyak faktor. Pemicunya setidaknya ada dua hal. Pertama, berangkat dari fakta pernikahan yang berujung perceraian. Kedua, kekhawatiran yang berdasar atas pertimbangan ekonomi, karier, fakta pergaulan yang kompleks, maupun karena belum cukupnya persiapan untuk memasuki jenjang pernikahan.
Banyaknya pernikahan berujung perceraian yang mereka indra, sedikit banyak berperan dalam mengarahkan keinginan untuk memilih menikah atau tidak. Tentu saja, referensi mereka tidak jauh dari realitas pernikahan selebritas atau cerita yang hadir melalui bacaan maupun film yang mereka tonton. Sementara itu, dari sisi kekhawatiran finansial, kian sulitnya kondisi ekonomi negeri membuat kaum muda maju mundur untuk memulai kehidupan berumah tangga.
Kompleksnya permasalahan realitas pernikahan yang terindra oleh kaum muda ini pada akhirnya menjadi celah masuknya paham liberal lainnya. Contoh, ada selebritas yang menyerukan penundaan pernikahan karena spirit patriarki. Ada pula selebritas yang mempopulerkan istilah “childfree” yang menggambarkan fenomena pernikahan yang menunda untuk memiliki keturunan. Seluruh fakta ini sesungguhnya berangkat dari kekhawatiran akibat sistem kehidupan hari ini yang amburadul.
Bagaimana bisa pernikahan yang sejatinya bersumber dari fitrah manusia ini justru dibayang-bayangi berbagai kekhawatiran? Di sisi lain, kita tidak bisa mengabaikan fakta kehidupan kaum muda yang hedonistik. Mereka memilih untuk menjalin hubungan tanpa status yang justru mudaratnya terpampang nyata. Mulai dari fakta hamil di luar nikah, aborsi, hingga berujung pada realitas sosial seperti perselingkuhan, gonta-ganti pasangan, hingga menjadi penyuka sesama jenis.
Atas dasar ini, munculnya fenomena “takut menikah” di kalangan generasi sesungguhnya perlu penelaahan serius dan bersifat sistemis. Pernikahan bukan sekadar hubungan antara dua orang, melainkan dalam tataran yang lebih luas, pernikahan berperan besar bagi keberlanjutan peradaban manusia.
Menikah tentu membutuhkan ilmu dan kesiapan. Hanya saja, menjadi fobia dengan pernikahan berdasarkan realitas pernikahan yang jauh dari tuntunan syariat, terlebih dengan kondisi sistem sekuler kapitalisme hari ini tentu membutuhkan sikap yang bijak. Ini menuntut kita untuk memahami dua hal penting, yakni kembali menyelami berbagai tuntunan syariat mengenai pernikahan dan menelaah sistem hari ini yang berkontribusi menjadi toksik bagi institusi rumah tangga.
Dalam kitab Nizham al-Ijtima’iy karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa pernikahan merupakan pengaturan hubungan antara unsur kelelakian (adz-dzakuurah/maskulinitas) dengan unsur keperempuanan (al-unuutsah/feminitas). Dengan kata lain, pernikahan merupakan pengaturan interaksi antara dua jenis kelamin, dengan aturan yang khusus.
Peraturan tersebut menggariskan bahwa keturunan manusia hanya dihasilkan dari hubungan pernikahan saja. Melalui pernikahan inilah, akan terealisir perkembangbiakan spesies umat manusia. Inilah tujuan pernikahan dalam Islam.
Di sisi lain, Islam menganjurkan para pemuda yang telah mampu untuk menikah. Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (Muttafaq ‘alayh).
Rumah tangga bukanlah institusi yang menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam klaim superioritas gender. Syariat Islam justru memiliki seperangkat hukum yang berlaku sama, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Islam telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban perempuan.
Islam pun telah menetapkan berbagai hak dan kewajiban laki-laki. Ketika Islam menetapkan semua itu, tidak lain Islam menetapkannya sebagai hak dan kewajiban terkait dengan kemaslahatan manusia menurut pandangan Allah, bukan karena ada atau tidak adanya kesetaraan.
Dengan sendirinya, ketika Allah menetapkan kewajiban mencari nafkah kepada laki-laki, mendidik istri, atau menjadi pemimpin keluarga, itu semata karena syariat yang menetapkan itu semua. Demikian juga saat syariat menganjurkan perempuan untuk taat pada suami, itu pun semata karena tuntutan syariat, bukan karena adanya superioritas laki-laki atas perempuan.
Di tengah arus budaya liberal dan kehidupan yang serba bebas seperti saat ini, nyaris sebagian besar generasi ikut arus dalam pusaran budaya liberal. Budaya inilah yang terus mencecar dan mengacaukan persepsi generasi mengenai pernikahan. Inilah yang hadir dalam tontonan, dan selebritas sebaagai role modelnya.
Di sisi lain, sistem kehidupan yang kapitalistik hari ini telah menjadikan pengurusan negara atas rakyatnya terabaikan. Dampak dari hal ini yakni terabaikannya hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera. Mahalnya biaya hidup yang berdampak pada sulitnya ekonomi keluarga sesungguhnya bukan masalah yang berdiri sendiri. Ada peran sistem yang membuat rakyat harus mengecap pahitnya hidup di bawah sistem yang tidak berpihak pada rakyat.
Kebijakan liberal yang pemerintah rumuskan, berikut konsep kebebasan yang lahir dari sistem hari ini, seakan berkolaborasi mencerabut fitrah manusia. Jadilah manusia menjalani hidup dengan rutinitas untuk mencari materi. Mereka tidak mampu memaknai kebahagiaan, bingung cara untuk mewujudkan ketenangan, selain berharap pada materi yang mereka dapat.
Inilah masa manusia benar-benar merasakan kesempitan hidup dan menggeser fitrah mereka yang telah Allah bekali dengan potensi akal dan naluri. Kegamangan yang mereka alami berusaha dipadamkan dengan obat penenang seperti menjalin hubungan tanpa status yang jelas atau sejenisnya. Alih-alih bahagia, realitas ini justru memicu kerusakan sosial dan mengancam keberlanjutan ras umat manusia.
Walhasil, tidak ada pilihan lain, selain kembali pada syariat. Jangan biarkan fakta yang rusak hari ini membentuk arah pandang kita mengenai kehidupan. Jika sistem kapitalisme hari ini menyuguhkan kerusakan dan membuat manusia berpikir untuk menunda pernikahan, Islam justru berbeda.
Allah SWT berfirman, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS An-Nuur: 32).
Janji Allah ini tentu membutuhkan sistem yang kondusif dan pemahaman manusia yang murni mengenai konsep pernikahan, alih-alih kekhawatiran yang hadir karena fakta rusak dalam sistem liberal hari ini. Wallahualam.






