Oleh : Suciyati
Riset Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) menemukan 58 persen Gen Z memanfaatkan pinjaman online (pinjol) untuk kebutuhan gaya hidup serta hiburan. Temuan itu disampaikan Ketua Program Studi Magister dan Doktor Fakultas Ekonomi Unpar, Dr Vera Intanie Dewi. Untuk itu, mahasiswa seharusnya mulai melatih kemampuan mengelola uang sebelum masuk ke dunia kerja. “Harapannya, agar saat bekerja bisa menjadi individu yang sejahtera secara keuangan (financial well-being),” ujarnya dalam rilis yang diterima Kompas.com, Jumat (28/11/2025).
Riset yang sama mengungkapkan persoalan lain terkait perencanaan keuangan. Sebanyak 61,7 persen usia 17–40 tahun tidak memiliki dana darurat, sementara 67 persen masyarakat Indonesia baru mulai merencanakan dana pensiun lima tahun menjelang masa pensiun.
Vera menambahkan, survei juga mencatat 54 persen milenial meminjam melalui pindar untuk membiayai kebutuhan rumah tangga. Kondisi ini menunjukkan masyarakat masih belum mencapai tingkat kesejahteraan finansial yang ideal. “Hingga kini masyarakat Indonesia masih sulit untuk mencapai kesejahteraan keuangan (financial well-being),” katanya. Menurut Vera, jurang pemahaman keuangan menjadi salah satu tantangan besar. Meski indeks inklusi keuangan 2024 mencapai 80 persen, indeks literasi keuangan baru 66 persen.
Artinya, banyak orang memakai produk keuangan tanpa benar-benar memahami risikonya. “Era digital memberi disrupsi literasi ke sektor keuangan. Sehingga setiap individu harus memiliki kompetensi agar dapat membuat keputusan Vera menegaskan tujuan financial well-being makin sulit diraih karena beberapa faktor, mulai dari daya beli yang tergerus hingga maraknya pinjaman ilegal. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), kata dia, menghentikan 11.388 entitas pinjaman ilegal sepanjang 2017–2024. Situasi tersebut menunjukkan sebagian masyarakat masih bergantung pada pinjaman untuk kebutuhan hidup.
Lebih jauh, Vera menyoroti kondisi para lansia yang hidup tanpa dana pensiun sehingga membebani anak mereka yang juga minim tabungan (sandwich generation). “Untuk itu, sangat penting terus menyosialisasikan pengelolaan keuangan pada kelompok usia produktif. Harapannya, selain literasinya meningkat, diikuti dengan tingkat inklusinya dan memberi keamanan serta kenyamanan dalam membuat keputusan keuangan,” ujarnya.
Asisten Direktur Pengawasan Perilaku PUJK, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Jawa Barat, Iman K Nugraha, menilai peningkatan edukasi di kampus merupakan langkah tepat. Baca juga: Lakuemas Fokus Edukasi Masyarakat tentang Investasi Emas Digital “Jadi sudah betul sasaran kampanye strategi mengelola keuangan diadakan di kampus. Tujuan besarnya, para generasi masa depan ini paham dan terampil mengatur keuangannya agar hidupnya berkualitas,” kata Iman.
Seminar tersebut juga mendorong mahasiswa memahami strategi pengelolaan uang hingga menjadi debitur yang bijak dan tidak mudah terjebak scam. Sementara itu, Head of Collection Operation Home Credit Indonesia, Andri Maulana, menyampaikan bahwa pihaknya telah menjalankan edukasi perencanaan keuangan sejak 2015. “Lebih dari 56 kelas di banyak kota se-Indonesia dengan peserta sedikitnya 17 juta orang. Kami berharap anak muda bisa memanfaatkan produk dan layanan keuangan dengan bijak dan cermat. Agar bisa membangun pondasi finansial yang baik sehingga masa depan aman dan goals hidup tercapai,” ujarnya.
Btw Kalau urusan kemampuan digital, generasi Z memang tidak perlu diragukan lagi. Mereka lahir di era internet, tumbuh bersama media sosial, dan terbiasa menggunakan teknologi sejak kecil. Namun, di balik kecanggihan itu, ada fenomena yang cukup mengkhawatirkan: Gen Z melek digital, tapi nggak melek finansial.
Ada beberapa alasan mengapa generasi Z mudah terjerat pinjol:
- Gaya Hidup Konsumtif Tinggi Media sosial membuat Gen Z selalu ingin tampil up-to-date. Tren fesyen, gadget terbaru, hingga kebutuhan gaya hidup sering kali mendorong mereka untuk belanja impulsif tanpa mempertimbangkan kemampuan bayar.
- Akses Mudah ke Pinjol Dengan sekali klik, siapa pun bisa mengajukan pinjaman online. Proses cepat tanpa ribet membuat banyak anak muda tergoda, padahal tidak semua memahami konsekuensi bunga dan cicilan.
- Literasi Keuangan Rendah Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tingkat literasi keuangan Gen Z hanya sekitar 44,04%, lebih rendah dibanding generasi milenial. Artinya, banyak yang belum memahami cara mengatur keuangan, investasi, atau bahkan risiko berutang.
- Manajemen Keuangan Buruk Banyak Gen Z yang belum terbiasa mencatat pemasukan dan pengeluaran. Akibatnya, mereka tidak tahu ke mana uang pergi dan mudah terjebak dalam utang konsumtif.
Ironis, di saat digitalisasi dapat memberikan kemudahan dalam mengakses berbagai macam ilmu pengetahuan dan wawasan sementara disisi lain justru menjebak penggunanya melalui konten judol yang sering kali berseliweran. Terlebih pada situs pendidikan dan game online yang kerap diakses oleh Gen Z sehingga mereka rentan terpapar dan terjerumus dalam lingkaran setan. Pelaku judol biasanya ketika kalah bermain akan berusaha mendapatkan kembali uangnya sehingga permainan terus berulang. Sementara kemungkinan menang sangat tipis akibatnya berkali-kali kalah dan kehabisan uang. Barulah celah pinjol terbuka sebagai alternatif pilihan karena dinilai lebih mudah syaratnya dan lebih cepat pencairan dananya.
Terlihat pada berbagai kasus bahwa tidak adanya peran negara yang semestinya bertanggung jawab dalam mengontrol media sosial serta memberantas situs-situs tersebut.
Sederet kasus judol dan pinjol yang menimpa Gen Z serta berbagai kalangan masyarakat tidak mungkin terjadi begitu saja. Terdapat hal yang mendasari apalagi kasus terjadi di berbagai wilayah sehingga dapat dikatakan sebagai masalah sistemik. Dengan akar masalahnya tidak lain sistem yang diterapkan tidak mampu menunjang kemaslahatan rakyat yakni sistem kapitalisme. Padahal kapitalisme telah mempengaruhi pola berpikir rakyat menjadi rusak karena asasnya manfaat dengan tolok ukur materi. Akibatnya rakyat berorientasi menjadi kaya secara instan tanpa perlu kerja keras. Judol dan pinjol pun menjadi jalan pintas karena aksesnya mudah dan tidak membutuhkan modal besar.
Di samping itu, negara dengan sistem kapitalisme hanya sebagai regulator bukan pelindung rakyat. Sehingga tidak mengherankan jika para penguasa tidak bertanggung jawab dalam mengurusi kepentingan rakyat dan justru mengambil keuntungan dengan merampas hak rakyat. Tidak ada upaya yang berdampak signifikan dalam mengatasi kasus judol dan pinjol selama ini, malah tidak sedikit penguasa dan aparat berwenang menjadi bagian dari berkembangnya situs-situs tersebut yang tentunya mendapatkan keuntungan besar.
Berbeda halnya dengan Islam memiliki standar halal haram sebagai tolok ukur perbuatan sementara judol dan pinjol merupakan keharaman yang seharusnya dihindari. Selain itu, negara menerapkan sistem pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam sebagai pondasi setiap individu. Melalui pemahaman terhadap akidah Islam akan membentuk kepribadian Islam yang senantiasa bertakwa dan menjadikan keridhoan Allah sebagai tujuan hidupnya. Masyarakat termasuk pelajar memiliki arah dan standar yang jelas dalam menjalani segala aktivitas hidupnya. Sehingga tidak cukup hanya dengan pendidikan karakter seperti yang selama ini diaruskan.
Kemudian negara juga bertindak tegas dengan menerapkan sistem sanksi Islam. Sehingga dapat menghukumi sesuai hukum syara’ bagi para pembuat dan pengedar situs judol dan pinjol, termasuk pelaku yang juga korban dari situs tersebut. Negara pun mengontrol konten-konten di media sosial dan menutup atau memblokir situs-situs yang mengancam akidah umat. Begitu bertanggung jawabnya negara dalam meriayah umat dan adanya penguasa yang menyadari amanah kepemimpinannya sehingga tidak mustahil kasus judol dan pinjol tuntas teratasi. Masa depan generasi pun terselamatkan.













