Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Kasus penemuan jasad wanita hangus terbakar di wilayah Sumbermanjing Wetan (Sumawe), Kabupaten Malang, akhirnya mulai terungkap. Polisi memastikan pelaku pembunuhan adalah FA (54), suami siri korban bernama Ponimah (42).Menurut KBO Satreskrim Polres Malang, Ipda Dicka Ermantara, korban dilaporkan hilang oleh keluarganya sejak 8 Oktober 2025. Saat itu, korban terakhir terlihat bersama pelaku di rumah.
Pada Senin (13/10/2025), warga Desa Sumberjo, Kecamatan Gedangan, curiga melihat gundukan tanah tak biasa di lahan tebu. Setelah digali, ditemukan jasad perempuan yang hangus terbakar.Identitas korban kemudian dipastikan sebagai Ponimah, yang sebelumnya dilaporkan hilang. Hasil pemeriksaan menunjukkan korban telah meninggal dunia empat hingga lima hari sebelum ditemukan.
Polisi bergerak cepat dengan mengumpulkan barang bukti dan memeriksa sejumlah saksi. Salah satu bukti penting adalah rekaman CCTV yang memperlihatkan truk kuning milik pelaku melintas menuju lokasi kejadian. (Beritasatu.com, Kamis, 16/10/2025 ).
Berbagai kasus KDRT tersebut tentunya bukan perkara sepele, meski banyak juga kasus KDRT yang penyebabnya bukan perkara serius. Keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, dan tenteram merupakan dambaan setiap orang dalam berumah tangga. Untuk mewujudkan hal tersebut, sangat bergantung pada kadar kualitas dan pengendalian diri setiap orang dalam lingkup rumah tangga.
Namun, kasus KDRT yang muncul saat ini ternyata tidak sederhana, justru makin rumit, bahkan tidak jarang berujung pada hilangnya nyawa. KDRT dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, serta penelantaran ekonomi. Korban KDRT pun tidak hanya terbatas pada istri, tapi melibatkan anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Penyebab keluarga rentan KDRT, bahkan sampai terjadi pembunuhan meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal itu di antaranya akibat pasutri tidak memahami tujuan, hakikat, dan ilmu membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara). Tidak sedikit dari mereka yang minim akan kesiapan mental dan landasan keimanan dalam menghadapi masalah keluarga. Sedangkan yang termasuk faktor eksternal, misalnya adalah perilaku menyimpang dari norma agama, yakni perselingkuhan, perjudian (judol), pinjol, pergaulan bebas, miras, serta tekanan ekonomi.
Miris, pada praktiknya korban KDRT kerap dihadapkan pada stigma dan victim blaming (tindakan menyalahkan korban). Korban yang mayoritas perempuan/istri dianggap mempermalukan keluarga jika melapor. Mereka bahkan disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga keharmonisan rumah tangga.
Lebih buruk lagi, aparat penegak hukum pun sering kali meremehkan laporan korban atau mendorong penyelesaian secara kekeluargaan sehingga pelaku tidak mendapat hukuman setimpal. Bahkan, tidak jarang aparat penegak hukum baru bergerak dan turun tangan setelah kasus KDRT tersebut viral. Padahal, perlindungan dibutuhkan agar setiap warga negara mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, tidak terkecuali KDRT.
Sebagai bentuk perlindungan, sejatinya terdapat UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Sayang, UU tersebut tampaknya tidak cukup bergigi untuk menahan laju KDRT. Di antara klaim mengenai kendala perlindungan korban KDRT adalah masih kuatnya budaya patriarki di masyarakat, minimnya pemahaman aparat penegak hukum (APH) terkait UU PKDRT, serta belum adanya restitusi bagi korban.
Mencermati hal ini, jelas kasus kejahatan berupa KDRT tidaklah berdiri sendiri, melainkan terkait erat dengan banyak aspek lainnya. Untuk itu, penyelesaian KDRT tidak bisa sebatas pada kasus itu saja, tapi harus ditanggulangi secara komprehensif dan sistemis sejak dari akarnya.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa akar masalah KDRT adalah tegaknya sistem kehidupan yang sekuler dan liberal di negara ini, kendati berpenduduk muslim terbesar di dunia. Pasalnya, sistem sekuler dan liberal itu melahirkan pribadi yang tidak memiliki keimanan yang kukuh, bahkan minim akan pemahaman dan keterikatan pada agama (Islam). Sistem sekuler dan liberal jelas gagal mewujudkan konsep hidup sahih karena sistem tersebut memang menciptakan landasan hidup yang memisahkan agama dari kehidupan.
Tidak hanya itu, sistem sekuler dan liberal juga menyuburkan sikap mental yang rapuh pada diri individu masyarakat. Akibatnya, mereka begitu payah dalam meredam gejolak hawa nafsu dan emosi, termasuk saat menghadapi konflik di dalam rumah tangga. Kondisi ini turut diperparah oleh beragam tekanan sosial dan ekonomi yang menggerus ketakwaan individu dan masyarakat. Semua itu melahirkan perilaku KDRT, bahkan pembunuhan terhadap/oleh anggota keluarga sendiri.
Realitas miris ini tentu sangat jauh dari profil samara sebagaimana yang dicita-citakan oleh banyak keluarga muslim. Allah Taala telah berfirman di dalam ayat:
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.’” (QS Al-Furqan [25]: 74).
Dari ‘Aisyah ra., Rasulullah SAW bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى
“Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR At-Tirmidzi).
Dari hadis di atas, kita bisa belajar bahwa berperilaku baik terhadap keluarga adalah salah satu kunci keluarga yang sakinah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah SAW, yang memperlakukan keluarganya dengan baik. Beliau SAW juga bersabda,
أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَعَبْدُ الرَّجُلِ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak ia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan ia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka. Dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari).
Semua ini menegaskan bahwa untuk mengelola dan mengurus keluarga membutuhkan ilmu Islam serta keterikatan pada aturan Allah Taala agar manusia tidak salah langkah. Sebaliknya, sistem dan gaya hidup sekuler liberal terbukti telah menyesatkan manusia sehingga mereka salah arah dan mudah terperosok untuk melanggar aturan Allah. Sedangkan keluarga adalah amanah di dunia yang akan Allah minta pertanggungjawabannya di akhirat.
Tidak pelak, krisis di dalam rumah tangga tidak cukup diatasi dengan upaya-upaya berupa perbaikan interaksi di antara pasutri atau anggota keluarga. Lebih dari itu, problematik keluarga membutuhkan sistem yang secara komprehensif turut mendukung kehidupan mereka dalam wujud penerapan aturan kehidupan yang sahih.
Keluarga adalah unit terkecil interaksi manusia di dalam masyarakat dan sistem kehidupan. Islam memiliki sejumlah ketetapan untuk mengatur kehidupan berkeluarga. Keluarga dimulai dari adanya suatu pernikahan, sebagai hubungan pertemuan antara laki-laki dan perempuan yang selanjutnya menghasilkan berbagai hubungan lain terkait dengan kemaslahatan mereka selain pernikahan itu sendiri.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan di dalam kitab Nizham al-Ijtima’iy fi al-Islam (Sistem Pergaulan dalam Islam) bahwa pernikahan mewadahi berbagai hubungan yang tidak sekadar berupa hubungan yang bersifat seksual antara sepasang suami istri. Hubungan seksual juga bukan satu-satunya penampakan garizah an-naw’ (naluri untuk melestarikan jenis) yang menjadi pemenuhan fitrah manusia di dalam pernikahan. Manifestasi lain dari garizah an-naw’ adalah berupa hubungan keibuan, kebapakan, kesaudaraan, keanakan, kebibian, dan kepamanan yang semuanya itu selanjutnya disebut keluarga. Dalam konteks ini, syariat Islam mengatur hukum-hukum tentang keanakan, kebapakan, dan keibuan sebagaimana mengatur hukum-hukum tentang hubungan pernikahan.
Di dalam kitab yang sama, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani juga menjelaskan bahwa seorang istri adalah sahabat sejati suami dalam segala hal. Persahabatan mereka dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain. Allah Taala berfirman,
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Ruum [30]: 21).
Makna kata as-sakn di dalam ayat di atas adalah al-ithmi’nan (ketenteraman atau kedamaian). Ini adalah ketentuan dasar dalam sebuah pernikahan. Untuk itu, supaya persahabatan mereka menjadi persahabatan yang damai dan tenteram, syariat Islam menjelaskan hak istri atas suami dan hak suami atas istrinya. Allah Taala telah mewasiatkan pergaulan yang baik di antara suami dan istri dalam firman-Nya,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut (makruf).” (QS An-Nisa’ [4]: 19).
Kata al-‘usyrah (pergaulan) di dalam ayat tersebut adalah al-mukhalathah wa al-mumazajah (berinteraksi dan bercampur dengan penuh keakraban dan kedekatan), ‘asyarahu mu’asyarah (bergaul dengannya secara akrab), dan ta’asyara al-qawm wa i’tasyaru (suatu kaum saling bergaul di antara mereka secara akrab).
Terdapat hadis dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda di dalam khotbah beliau saat haji Wada’, “Bertakwalah kalian kepada Allah dalam urusan kaum perempuankarena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan amanat dari Allah dan kalian pun telah menjadikan kemaluan mereka halal bagi kalian dengan kalimat Allah. Kalian memiliki hak atas istri-istri kalian agar mereka tidak memasukkan ke tempat tidur kalian seorang pun yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukan tindakan itu, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak kuat (tidak menyakitkan/meninggalkan bekas). Sebaliknya, mereka pun memiliki hak terhadap kalian untuk mendapatkan rezeki dan pakaian (nafkah) mereka menurut cara yang makruf.” (HR Muslim).
Demikianlah gambaran yang Islam berikan, yakni agar dalam pernikahannya para suami bersahabat secara baik dengan istri-istri mereka. Hendaknya suami tidak bermuka masam di hadapan istri tanpa ada kesalahan dari istri. Suami juga harus senantiasa berlemah lembut dalam bertutur kata, tidak bersikap keras dan kasar, serta tidak menampakkan kecenderungan kepada perempuan selain istrinya.
Memang, Islam telah mengingatkan bahwa hubungan suami istri bukanlah hubungan yang dipaksa untuk terjadi seumur hidup mereka. Ini terbukti di antaranya dengan ada syariat mengenai talak (perceraian). Namun demikian, Islam telah memberikan aturan yang sedemikian rupa perihal kehidupan pernikahan dan keluarga sehingga semestinya kasus-kasus KDRT dapat dihindari.
Lebih dari itu, penerapan syariat Islam secara kafah dalam bingkai negara (Khilafah) akan menjaga dan mewujudkan keluarga sebagai surga karena keluarga akan menjadi tempat paling nyaman dan aman bagi semua anggota keluarga. Khilafah menetapkan kebijakan pendidikan yang bisa melahirkan manusia-manusia yang tidak hanya kukuh keimanan dan ketakwaannya, tapi juga kuat kepribadiannya dan paham pelaksanaan syariat Islam, khususnya dalam kehidupan rumah tangga.
Khilafah menjamin kesejahteraan dan keamanan dalam keluarga dan lingkungan sosial sehingga tidak mudah memicu segala hal yang mengarah pada KDRT. Khilafah akan menerapkan sanksi yang tegas bagi siapa pun yang melanggar syariat Islam.
Sepanjang peradaban Khilafah, banyak lahir keluarga samara yang layak kita teladan hingga pada masa modern ini. Mereka adalah keluarga para pejuang yang seluruh anggota keluarganya bersama-sama meraih surga-Nya. Keluarga Rasulullah saw. adalah teladan pertama dan utama. Keluarga beliau adalah pendamping terdepan dalam rangka mengemban risalah Allah Taala ke seluruh penjuru dunia, membangun masyarakat baru yang menghapus peradaban jahiliah, serta mendirikan negara yang mengemban dakwah Islam kepada seluruh umat manusia.
Kita juga bisa meneladan keluarga Ummu Sulaim ra. Beliau adalah seorang perempuan ansar yang cerdas dan pemberani, serta dikenal karena keimanannya yang kuat dan perjuangannya dalam membela Islam. Suami pertamanya adalah Malik bin Nadhar dan putra mereka adalah Anas bin Malik. Kita tahu, Anas bin Malik adalah seorang sahabat yang dikenal sebagai pelayan setia Rasulullah SAW dan salah satu perawi hadis terbanyak. Ummu Sulaim mempersembahkan Anas bin Malik kepada Rasulullah saw. untuk mengabdi sejak usia muda hingga wafatnya beliau SAW Anas bin Malik juga dikenal karena doanya yang dikabulkan oleh Allah, sosoknya kaya ilmu, harta, dan keturunan.
Ummu Sulaim menikah lagi dengan Abu Thalhah setelah suami pertamanya meninggal. Abu Thalhah adalah seorang sahabat Nabi SAW yang juga dikenal kesetiaannya pada Islam. Dari pernikahan tersebut lahir beberapa anak, termasuk di antaranya Abdullah bin Abu Thalhah yang dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an.
Sungguh, keluarga ini adalah contoh nyata ketika keimanan, pendidikan, dan kesabaran membuahkan keberkahan dalam keluarga dan masyarakat. Keberadaannya dekat dengan ketaatan dan kehidupannya subur dengan nilai-nilai yang bersumber langsung dari Rasulullah saw., serta dinaungi oleh tegaknya sistem Islam. Semua ini berbeda nyata dengan kehidupan dalam sistem sekuler dan liberal yang telah banyak menjadikan keluarga bak neraka di dunia. Wallahualam bissawab.








