Oleh : Oktiwi Rani
Jumlah kasus kekerasan di satuan pendidikan menunjukkan tren peningkatan yang signifikan dari 15 kasus tahun 2023 naik menjadi 36 kasus pada 2024 dan kini 60 kasus pada tahun 2025. Temuan ini sangat mengkhawatirkan dan perlu ada perbaikan ke depan.
Dari jumlah tersebut, ada 358 korban dan 146 pelaku. Data ini dirangkum oleh Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dari Januari hingga awal Desember 2025 melalui kanal pengaduan FSGI, pemberitaan media massa, dan kasus-kasus yang viral di media sosial. ”Pelaku-pelaku kekerasan ini sangat beragam, tidak hanya pendidik dan peserta didik, tetapi juga tenaga kependidikan, pejabat struktural, bahkan alumni,” kata Fahriza Marta Tanjung, Ketua Umum FSGI, Senin (8/12/2025).(Kompas.com Senin, 08/12/2025)
Kekerasan di sekolah merupakan isu yang kompleks dan faktor penyebabnya bisa berlapis. Kesenjangan sosial, kemiskinan ekstrem, dan peminggiran sosial (eksklusi sosial) menjadi beberapa pemicu tindak kekerasan di sekolah. Penegakan aturan yang tidak konsisten dan pengaruh media juga dapat menjadi pendorong. Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan yang dapat merusak iklim sekolah dan melanggar hak siswa untuk belajar di lingkungan yang aman.
Kekerasan di sekolah merupakan tindak kekerasan yang melibatkan murid, guru, dan staf sekolah yang dapat mengganggu proses pengajaran dan pembelajaran. Dua peneliti Universitas California, Santa Barbara, Michael Furlong dan Gale Morrison, mendefinisikan kekerasan di sekolah sebagai “konstruksi multi faset yang melibatkan tindakan kriminal dan agresi di sekolah yang menghambat perkembangan dan pembelajaran, serta merusak iklim sekolah”. Pelaku dan korban kekerasan dapat berasal dari kalangan murid ataupun guru dan staf sekolah lainnya.
Kekerasan dapat terjadi antar siswa maupun orang di sekolah terhadap siswa dan sebaliknya. Kekerasan dapat mengambil tempat di dalam maupun di luar kelas, di lingkungan sekitar sekolah, misalnya di area bermain dan fasilitas olahraga, serta di jalan menuju ke sekolah. Kekerasan di sekolah merupakan isu yang terkait dengan kesehatan masyarakat, hak asasi manusia, dan masalah sosial. Kekerasan di sekolah tak hanya berdampak negatif terhadap prestasi dan kehidupan siswa, tapi juga merusak nilai-nilai demokrasi dan pendidikan kewarganegaraan.
Tindak kekerasan dapat digolongkan menjadi enam tipe, yaitu penganiayaan (kekerasan fisik, seksual, dan psikologis), penindasan (fisik dan virtual), kekerasan remaja, kekerasan dalam hubungan (kekerasan dalam pacaran dan kekerasan dalam rumah tangga), kekerasan seksual, serta kekerasan psikologis.
Kekerasan dan penindasan di sekolah dapat menimbulkan sejumlah dampak jangka pendek dan panjang pada korban, baik pada aspek akademik, kesehatan, kesehatan mental, masalah interpersonal, perilaku, maupun psikososial.
Anak-anak korban kekerasan dapat mengalami depresi, pikiran kekerasan, bunuh diri, kecemasan, harga diri yang rendah, dan masalah psikologis lainnya. Untuk menghindari konfrontasi lebih lanjut, korban mungkin juga menghindari berkomunikasi dengan siswa-siswa lainnya, sehingga akan memengaruhi kemampuan mereka dalam mengembangkan keterampilan sosial dan interaksi antarmanusia.
Kekerasan juga memengaruhi sekolah dalam beberapa hal, antara lain reputasi dan kepercayaan orang tua yang menurun. Orang tua siswa bisa memutuskan memindahkan anak-anak mereka ke sekolah lain dan ini berdampak pada penurunan pemasukan sekolah.
Bagi guru, waktu mereka untuk fokus mengajar menjadi berkurang. Jika kekerasan terjadi dalam jangka panjang, proses pengajaran dan pembelajaran akan terganggu dan akan memengaruhi prestasi akademik sekolah.
Kekerasan di sekolah merupakan isu yang kompleks dan faktor penyebabnya bisa berlapis. Kesenjangan sosial, kemiskinan ekstrem, dan peminggiran sosial (eksklusi sosial) menjadi beberapa pemicu tindak kekerasan di sekolah. Penegakan aturan yang tidak konsisten dan pengaruh media juga dapat menjadi pendorong. Kekerasan di sekolah menimbulkan rasa tidak aman dan ketakutan yang dapat merusak iklim sekolah dan melanggar hak siswa untuk belajar di lingkungan yang aman.
Jenis kekerasan :
- Kekerasan fisik
Murid laki-laki umumnya lebih rentan terhadap hukuman fisik di sekolah. Kekerasan fisik sebagai kekerasan sekolah yang paling sering terjadi setelah kekerasan sosial dan penindasan verbal. Hukuman fisik yang dilakukan oleh pihak sekolah juga masuk ke dalam kategori kekerasan fisik. Kekerasan fisik dapat berdampak jangka panjang pada aspek fisik dan psikologis korban. Dampak fisik dapat berupa luka fisik, seperti memar, patah tulang, kematian, hingga bunuh diri. Korban hukuman fisik cenderung melakukan kekerasan fisik kepada orang-orang di sekitarnya, seperti memukul saudara kandung, orang tua, teman sekolah, hingga anak-anaknya jika mereka telah dewasa. Anak-anak yang dihukum secara fisik kesulitan untuk mengembangkan empati dan nilai-nilai moral, terlibat dalam kegiatan altruistik, dan cenderung susah menahan diri dari berlaku kasar.
- Kekerasan psikologis
Kekerasan psikologis mencakup kekerasan verbal dan emosional. Murid dapat mengalami hukuman psikologis seperti dipermalukan, diancam, dan direndahkan. Kekerasan psikologis, menurut ilmuwan, merupakan kekerasan yang multifaset, dapat terjadi antar siswa maupun dalam relasi guru dan murid. Kekerasan psikologis umumnya merupakan kekerasan yang terjadi pertama kali sebelum disusul oleh kekerasan-kekerasan jenis lainnya. Seorang murid, misalnya, bisa mengalami penindasan dan pengucilan sebelum kemudian mendapatkan kekerasan fisik, seperti dipukul atau dilecehkan.
- Kekerasan seksual
Kekerasan seksual merupakan kontak seksual baik yang telah dilakukan maupun percobaannya tanpa persetujuan, serta tindakan mengarah ke hal seksual tanpa adanya kontak fisik. Kekerasan dan pelecehan seksual paling banyak dialami oleh banyak murid-murid perempuan, baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
- Penindasan
Penindasan merupakan salah satu bentuk kekerasan di sekolah yang paling umum terjadi. Penindasan adalah bentuk perilaku agresif proaktif atau reaktif yang dilakukan oleh satu orang atau lebih pada orang lainnya dengan tujuan melukai atau menimbulkan ketidaknyamanan. Penindasan dapat berupa serangan fisik, verbal, relasional ataupun siber, dan dilakukan secara terang-terangan maupun terselubung. Beberapa karakteristik penindasan yang membedakannya dengan kekerasan pada teman sebaya (peer-to-peer aggression) lainnya adalah adanya unsur kesengajaan, perilaku yang berulang dan ketimpangan kekuatan antara pelaku dan korban.
Sejumlah faktor yang memengaruhi terjadinya penindasan, yaitu faktor individu (jenis kelamin, ras/etnis, kesehatan), faktor relasional (adanya hubungan, seperti teman sebaya dan keluarga), dan faktor kontekstual (status sosial ekonomi, faktor terkait sekolah). Anak dan remaja laki-laki cenderung menjadi target penindasan fisik, sedangkan anak dan remaja perempuan lebih rentan mengalami penindasan verbal dan relasional.
Beberapa siswa yang terlihat ‘berbeda’ lebih rentan menjadi korban dibandingkan teman-temannya. Perbedaan tersebut dapat menyangkut aspek fisik, latar belakang etnis, bahasa atau budaya, jenis kelamin, termasuk mereka yang tidak mengikuti stereotip gender tradisional, status sosial dan cacat fisik.
Realitas ini makin buruk ketika media seolah-olah begitu bebas memuat konten budaya Barat masuk ke negeri kita tanpa filter. Ini sebagaimana game online yang menyuguhkan banyak adegan kekerasan fisik. Alih-alih dibatasi, negara malah mendukungnya dengan menciptakan cabang baru olahraga e-sport. Demikian halnya tontonan kartun dan anime yang―pada kenyataannya sedang membudayakan kekerasan dalam benak anak-anak―malah banyak ditayangkan dan dibiarkan masuk tanpa sensor.
Negara menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan kebutuhan publik yang harus dipenuhi oleh negara. Negara lepas tangan dalam pengelolaannya termasuk pembiayaannya. Komersialisasi di bidang pendidikan adalah keniscayaan. Negara memang memberikan subsidi kepada pendidikan, namun itu hanya sedikit dan tampak sebagai sekadar formalitas.
Arah dan tujuan serta kurikulum pendidikan sekuler hanya akan melahirkan individu yang pragmatis, apolitis, dan individualistis. Mereka hanya berpikir agar dirinya sejahtera secara materiil. Mereka merasa tidak perlu memikirkan umat sebab semua itu tidak mendatangkan keuntungan bagi mereka.
Dari sini bisa kita melihat bahwa negara abai terhadap pembentukan kepribadian mulia pada generasi. Generasi hanya dipandang sebagai objek cuan dan dipersiapkan untuk menjadi budak korporat yang akan selalu siap mendukung kebijakan yang berpihak pada oligarki. Pendidikan pun tidak ubahnya mesin pencetak generasi sekuler yang lekat dengan budaya rusak, termasuk kekerasan.
Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam, baik berupa pola pikir (akliah) maupun pola sikap (nafsiah) pada individu umat. Pendidikan juga berperan mempersiapkan generasi menjadi para ulama dan ahli di berbagai aspek kehidupan. Menurut Islam, orientasi pendidikan adalah membangun peradaban dan mewujudkan kemaslahatan umat.
Dalam sistem pendidikan Islam, generasi dididik dengan pondasi akidah yang kuat sehingga mereka memahami benar mengenai tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yakni menyembah Allah Swt.. Para peserta didik akan memahami tujuan hidupnya, yakni dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.
Pada titik ini, persoalan kekerasan di sekolah bisa selesai sebab tiap individu memahami hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh hamba-Nya. Mereka akan bertindak sesuai dengan syariat. Pola relasi antarindividu adalah taawun yakni tolong-menolong. Tiap orang akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjauhi kemudaratan.
Kurikulumnya yang berbasis akidah Islam dan independen alias terbebas dari kendali oleh berbagai pihak. Hal ini akan melahirkan peserta didik dan juga tenaga pendidik yang menguasai multidisiplin ilmu yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Individu yang memiliki kepribadian Islam akan menjadi generasi yang inovatif, menguasai iptek, menjadi problem solver, dan mampu memimpin peradaban. Inilah yang menjadikan pendidikan berkaitan erat dengan pembangunan peradaban.
Terkait dengan tindak kekerasan di sekolah, negara akan sangat peduli dan berupaya menyelesaikannya. Upaya preventifnya adalah dengan memastikan bahwa tujuan pendidikan terealisasi―yakni membentuk kepribadian Islam―sehingga kontrol ketakwaan dari tiap individu akan berfungsi dengan baik.
Selain itu, pemerintah akan menetapkan kebijakan yang mendukung untuk terselesaikannya persoalan tersebut, di antaranya dengan mengontrol konten di media. Seluruh media baik media massa maupun media sosial tidak boleh bermuatan negatif termasuk adegan kekerasan yang menjadi stimulus anak-anak melakukan tindak kekerasan.
Media harus dalam kendali negara sebagai alat syiar Islam. Begitu pula dengan program/aplikasi yang mendatangkan kemudaratan akan dilarang masuk ke dalam negara, seperti game online atau judi online. Teknologi mumpuni yang dimiliki negara akan mampu menghadang penyelewengan teknologi digital.
Upaya kuratifnya adalah dengan memberikan sanksi yang tegas kepada anak sekolah yang usianya sudah mencapai balig. Seseorang yang berusia balig sudah terbebani pelaksanaan hukum syariat secara sempurna pada dirinya sehingga ia wajib bertanggung jawab atas tiap amal perbuatannya. Jika pelaku kekerasan adalah guru atau orang dewasa, tentu hukumannya harus tegas dan bersifat menjerakan.
Demikianlah sistem pendidikan Islam yang hanya akan terwujud dalam naungan suprasistemnya, yakni sistem kehidupan umat yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah. Sistem kehidupan yang islami ini akan tegak dengan penerapan syariat Islam kafah dalam bingkai Khilafah.
Jelas, kita mustahil berharap kekerasan di sekolah akan berakhir jika sistem kehidupannya masih sekuler. Sistem pendidikan sekuler beserta penguasanya nyata-nyata abai terhadap ketakwaan peserta didiknya dan hanya fokus pada pencapaian materi. Harapan itu hanya ada pada sistem Islam saja, sebab Islam mampu menyelesaikan seluruh urusan manusia. Wallahualam bissawab.






