Securitynews.co.id, PALEMBANG- Praktik lelang agunan aset perbankan kembali menjadi sorotan publik. Kali ini, kasus mencuat di Palembang, Sumatera Selatan, menyusul dugaan lelang tertutup atas aset milik debitur bank pelat merah.
Konflik ini menyeret sejumlah pihak ke ranah hukum dan memunculkan pertanyaan besar tentang transparansi serta akuntabilitas lembaga keuangan?
Ketua Umum Lintas Aktivis Antar Generasi Indonesia (LAAGI), Sukma Hidayat, SE, menegaskan bahwa praktik lelang agunan tanpa pemberitahuan resmi kepada pemilik merupakan pelanggaran hukum serius yang dapat dikenai sanksi pidana. “Bank tidak bisa melelang rumah atau kendaraan debitur secara diam-diam. Tanpa pemberitahuan resmi dan mekanisme yang sah, itu melanggar hukum,” tegas Sukma kepada wartawan, Rabu (7/5/2025).
Ia merujuk pada UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan, khususnya Pasal 6 yang mengatur bahwa kreditur berhak menjual objek jaminan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) jika debitur wanprestasi. Namun, proses itu wajib didahului somasi dan pengumuman resmi melalui kanal yang dapat diakses publik. “Tanpa somasi tiga kali dan pengumuman terbuka, proses lelang bisa dianggap cacat hukum. Jika agunan dijual diam-diam atau menggunakan dokumen palsu, pelakunya dapat dijerat Pasal 372 KUHP tentang penggelapan, Pasal 385 KUHP tentang penipuan hak milik, serta Pasal 55 KUHP jika dilakukan secara bersama-sama,” papar Sukma.
Sukma juga mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan aparat penegak hukum untuk terlibat aktif mengawasi praktik lelang oleh perbankan agar kepercayaan publik terhadap sistem keuangan tetap terjaga.
Gugatan Masuk Pengadilan, Kuasa Hukum Fitriyanti Buka Suara
Kasus ini telah bergulir ke Pengadilan Negeri Palembang. Kuasa hukum penggugat, yang mewakili seorang perempuan bernama Fitriyanti, mempertanyakan keabsahan proses lelang aset hotel yang dipermasalahkan, terutama karena hingga saat ini belum ada risalah lelang resmi yang diberikan kepada pihak terkait. ‘’Sebenarnya pemenang lelang, dan kenapa risalah lelang tak kunjung disampaikan. Ini menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi dan legalitasnya,” ujar kuasa hukum Lani Novriansyah, SH, Rabu (7/5/2025).
Tak hanya itu, Lani juga menyoroti isu krusial: adanya informasi bahwa uang sebesar Rp.3 miliar telah disiapkan sebelum lelang dilaksanakan. Jika benar, maka patut diduga ada permainan di balik proses tersebut. “Kalau benar uang sebesar itu sudah ‘disiapkan di atas meja’ sebelum proses resmi dilakukan, tentu menimbulkan kecurigaan publik. Ada potensi pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan keterbukaan,” tegasnya.
Lani juga menyampaikan pembatalan lelang eksekusi hak tanggungan mengacu pada putusan Mahkamah Agung Nomor 2868/ptdh/2018. Sehingga lelang tersebut dinilai cacat prosedur dan merugikan debitur. “Artinya, kuat dugaan jika lelang bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan dan dilakukan tanpa memperhatikan iktikad baik kliennya yang ingin melunasi kewajiban. Klien kami ingin melunasi, tapi ditolak oleh pihak bank. Selain itu, nilai objek lelang juga sangat rendah, bahkan di bawah NJOP. Ini bentuk ketidakadilan,” jelasnya.
la menilai putusan MA menjadi koreksi atas arogansi lembaga keuangan yang mengabaikan hak debitur. “Lelang seperti ini wajib dibatalkan demi hukum,” katanya.
Bukan hanya itu, Kuasa hukum menegaskan bahwa tanggung jawab utama dalam perkara ini tetap ada pada Tergugat 1, yang merupakan debitur sekaligus pemilik aset.
Pihaknya juga menunggu hasil mediasi pada 15 Mei mendatang guna memperoleh kejelasan lebih lanjut.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, dalam pernyataan persnya disebutkan pada Mattanews, pihak tergugat, Tina Francisco, pemilik Hotel Barlian di kawasan KM 9 Palembang turut memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa dari awal sudah menyampaikan kepada pihak Bank BRI bahwa aset rumah yang berdiri di atas lahan hotel tidak termasuk dalam objek agunan. “Walau SHM belum sempat saya pecah, saya sudah beri tahu sejak awal bahwa rumah tidak ikut dijual. Itu sudah saya sampaikan kepada pihak bank,” ujar Tina pada Senin (5/5/2025).
Tina mengaku sempat beriktikad baik menyelesaikan masalah ini di luar jalur perdata. Namun, dirinya kaget ketika pihak Bank BRI menyatakan lelang dilakukan secara tertutup dan sangat dirahasiakan. “Reza dari Bank BRI bilang ke saya bahwa proses lelang sudah selesai, tapi saya tidak tahu siapa pemenangnya. Bahkan saat saya bilang dapat dana dan siap bayar, dia tetap minta Rp 3 miliar dibawa cash ke bank. Itu aneh dan tidak logis,” jelas Tina.
la juga mengungkap kekesalan terhadap sikap yang menurutnya tidak profesional dari oknum pegawai bank. “Saya bukan tidak mau bayar. Tapi cara mereka memperlakukan saya sebagai nasabah sangat tidak manusiawi,” katanya.
Klarifikasi BRI Cabang Palembang
Menanggapi polemik ini, Pemimpin Cabang BRI Palembang Sriwijaya, Pranathan Triatmojo, menegaskan bahwa proses lelang sudah dilakukan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. la menyatakan bahwa eksekusi lelang melalui KPKNL Palembang telah dilaksanakan berdasarkan Pasal 6 UU Hak Tanggungan dengan metode open bidding.
Proses lelang terbuka dan dapat diakses masyarakat luas melalui situs resmi pemerintah www.lelang.go.id, serta diumumkan di media cetak. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” ujar Pranathan dalam keterangan persnya, Selasa (6/5/2025).
Terkait isu permintaan uang tunai Rp 3 miliar, Pranathan menepisnya. “Itu tuduhan tidak berdasar. BRI selalu memberikan kesempatan kepada debitur untuk menyelesaikan kewajibannya sampai jelang lelang. Dan kami berkomitmen terhadap prinsip zero tolerance terhadap pelanggaran,” tegasnya.
la menambahkan bahwa BRI beroperasi dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).
Menanti Putusan dan Langkah Penegak Hukum!
Dengan makin panasnya konflik ini, publik menanti sikap tegas dari aparat penegak hukum dan otoritas keuangan. Jika terbukti ada pelanggaran, baik dalam bentuk penggelapan hak, penyalahgunaan wewenang, maupun tindakan manipulatif lainnya, maka proses pidana dan perdata harus ditegakkan.
Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi integritas lembaga perbankan, tetapi juga cermin sejauh mana hukum benar-benar melindungi hak-hak debitur dari kemungkinan penyimpangan prosedur yang bisa merugikan.
Sementara itu, semua mata tertuju pada sidang mediasi 15 Mei mendatang, momen yang bisa jadi titik terang atau justru memperdalam krisis kepercayaan publik terhadap sistem lelang agunan di Indonesia.
Laporan : Sandy/Ril
Posting : Imam Gazali