Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Banjir besar, tanah longsor, gempa bumi, erupsi gunung api, hingga kebakaran hutan mewarnai perjalanan Indonesia sepanjang tahun 2025. Hampir seluruh wilayah terdampak, mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Maluku. Sepanjang 13 hari pertama tahun 2025 saja, Indonesia telah mengalami 74 kejadian bencana, mayoritas berupa banjir.
Kemudian di penghujung tahun, bencana besar kembali terjadi. Banjir bandang dan tanah longsor melanda tiga provinsi di Sumatra dan menewaskan ribuan orang. Kaleidoskop 2025 ini merangkum bencana terbesar di Indonesia sepanjang tahun ini, berdasarkan laporan berbagai sumber. (Kompas. Com, Senin, 15/12/2025).
Selain bencana fisik berupa bencana alam, 2025 juga kita lewati dengan berbagai bencana nonfisik, terutama bencana moral generasi yang levelnya sudah sangat memprihatinkan. Tidak sedikit generasi muda yang kehilangan jati dirinya, tenggelam dalam budaya sekuler liberal, hingga lupa posisinya sebagai motor perubahan.
Mereka—dalam hal ini—terjebak dalam kehidupan yang serba permisif, hedonistis, konsumtif, dan materialistis. Tidak heran jika pergaulan bebas, penyimpangan seksual, kekerasan termasuk bullying, miras dan narkoba, pornografi pornoaksi, judol, pinjol, budaya FOMO, dsb., begitu lekat dengan kehidupan mereka. Bahkan angka kasus-kasus menyangkut fenomena ini dari tahun ke tahun makin mengerikan.
Sebagai contoh, pada 2024, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menemukan bahwa rata-rata remaja yang telah melakukan hubungan seksual ada pada rentang usia 15—19 tahun. Adapun persentase perempuan usia 15—19 tahun yang sudah melakukan hubungan seksual tersebut ada pada angka 59%, sedangkan jenis kelamin laki-laki ada pada angka 74%.
Data terakhir KPAI juga menyebutkan ada sekitar 55 juta anak di Indonesia kecanduan pornografi, sebanyak 2,1 juta lainnya terlibat dalam judol dengan jumlah transaksi yang mencengangkan. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan jumlah deposit judol yang dilakukan pemain berusia 10—16 tahun pada kuartal I 2025 mencapai lebih dari Rp2,2 miliar, sedangkan pada usia 17—19 tahun mencapai Rp47,9 miliar.
Adapun faktor penyebabnya, jelas tidak tunggal. Secara internal, pendidikan sekuler yang selama ini dipertahankan negara jelas telah menghancurkan ketahanan ideologis generasi muda. Mereka mengalami split personality, yakni secara imani mengaku muslim, tapi pola pikir dan pola sikapnya sekuler, bahkan liberal. Pada saat yang sama, isu kesehatan mental pun membayang-bayangi kehidupan mereka. Ini karena penerapan sistem kehidupan sekuler oleh negara telah menciptakan berbagai krisis yang menjadi stresor bagi mereka.
Adapun dalam konteks perang peradaban, umat Islam memang sudah lama menjadi sasaran utama perang pemikiran dan budaya yang dilancarkan kekuatan kapitalisme global. Pasalnya, generasi muda memiliki potensi memimpin perubahan dan melawan hegemoni mereka atas dunia yang sudah berlangsung cukup lama, serta membuat dunia Islam kehilangan kekuatannya.
Bahkan, pada dua dekade terakhir ini, kekuatan kapitalisme telah memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk memenangi pertarungan. Mereka menciptakan rezim algoritma dengan bubble filter-nya untuk menjebak generasi muda pada cara berpikir, bersikap, dan berbudaya sesuai arahan mereka. Mereka juga menciptakan standar-standar hidup dan life style baru, tentang kebenaran, kebaikan, definisi kebahagiaan, dan standar religiositas baru yang menjauhkan generasi dari potensi kebangkitan hakiki berdasarkan ideologi Islam.
Walhasil, potensi kebaikan dari generasi muda muslim—yang jumlahnya sangat besar ini—pun hilang. Keberadaan mereka sudah dibajak kepentingan kapitalisme global, baik untuk kepentingan pasar produk industri mereka maupun sebagai sumber buruh murah yang menopang eksistensi perusahaan-perusahaan milik para pemodal. Tentu saja yang paling krusial, potensi mereka untuk memimpin perjuangan melawan penjajahan kian hari kian melemah, akibat orientasi hidup mereka yang makin duniawi.
Semua problem yang disebutkan sebelumnya tentu tidak bisa dilepaskan dari peran penguasa atau negara. Melihat tingkah para penguasa berikut berbagai kebijakan yang dikeluarkannya memang pantas membuat rakyat mengurut dada. Betapa banyak UU dan kebijakan zalim yang membuat rakyat menderita. UU atau kebijakan dibuat hanya didedikasikan untuk kepentingan oligarki, baik lokal maupun asing.
Rencana menaikkan PPN dan PBB memang gagal dijalankan pada 2025 menyusul protes keras masyarakat yang mayoritasnya berjibaku dengan kemiskinan dan tsunami PHK. Namun, pemerintah toh akhirnya tetap menerapkan kebijakan efisiensi anggaran dengan dalih menyelamatkan APBN. Dengan alasan itulah anggaran untuk proyek strategis dan layanan publik dibuat kembang kempis. Anehnya, pada saat yang sama, anggaran untuk proyek populis dan bancakan, seperti MBG, dibuat begitu jorjoran. Wajar jika 2025 diwarnai banyak aksi massa besar-besaran.
Wacana #IndonesiaGelap, #ResetIndonesia, 17+8 Tuntutan Rakyat, dan peringatan #GarudaBiru, viral di media sosial. Semua itu diikuti gelombang aksi besar-besaran. Warga biasa, buruh, mahasiswa, hingga kalangan intelektual, beberapa kali turun ke jalan. Mereka menyuarakan kritik tajam, meski akhirnya suara mereka terus dibungkam.
Banyak pengamat yang menilai kebijakan rezim hari ini memperparah kebijakan sebelumnya yang sudah sangat parah. Sampai-sampai mereka berani menyebut Indonesia sedang bersiap menuju negara gagal. Di antara kebijakan itu adalah kebijakan ekonomi-politik yang dipandang ekstraktif dan destruktif. Juga munculnya pola pemerintahan developmentalisme dengan nasionalisme sempit—yang mereka sebut “memperkuat karakter otoritarian yang antikritik”.
Kasus bencana Sumatra juga makin membuka kebobrokan penguasa. Meski para pejabat membantah bencana ini adalah dampak dari kebijakan negara, hantaman jutaan kubik kayu gelondongan, lumpur pekat, dan batu gunung di wilayah yang begitu luas, jadi bukti nyata tentang kebohongan narasi mereka. Mirisnya, alih-alih melakukan muhasabah atas kesalahan fatal yang dilakukannya, pemerintah malah bertekad mendorong penyebab terjadinya bencana, yakni perluasan industri sawit hingga ke Papua dan penertiban SDA dengan dalih demi kemakmuran rakyatnya.
Sangat tampak bahwa kepemimpinan berparadigma sekuler demokrasi kapitalisme hanya membawa kemudaratan bagi manusia. Paradigma ini jelas-jelas telah menumpulkan akal dan nurani penguasa hingga tega mengorbankan rakyatnya. Tidak ada standar halal-haram dalam berbagai kebijakan mereka. Agama disingkirkan sejauh-jauhnya dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Alhasil, negara diurus dengan kebodohan dan sikap rakus para pejabatnya yang bekerja demi citra dan penuh tipu daya.
Seyogianya, fakta-fakta ini mengonfirmasi sabda Rasulullah ﷺ. Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Akan datang tahun-tahun penuh dengan kedustaan yang menimpa manusia, pendusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, amanat diberikan kepada pengkhianat, orang yang jujur dikhianati, dan ruwaibidhah turut bicara. Lalu beliau ditanya, ‘Apakah ruwaibidhah itu?’ Beliau ﷺ menjawab, ‘Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan perkara umum.’” (HR Ibnu Majah).
Bisa jadi, dengan semua bencana dan kesedihan yang menimpa umat dari masa ke masa, sejatinya Allah hendak menampakkan borok sistem kepemimpinan sekuler yang mencampakkan kedaulatan-Nya. Begitu banyak bukti bahwa sistem ini telah melanggengkan penjajahan dan menjauhkan umat dari cita-cita kesejahteraan, apalagi keberkahan. Meski tentu saja, pelajaran ini hanya bisa diambil oleh mereka yang mau menggunakan akal dan hatinya.
Oleh karenanya, tidak ada alasan bagi umat Islam untuk terus hidup dalam dosa dan kerusakan. Mereka semestinya lebih serius menggagas perubahan mendasar, yakni mengganti sistem kehidupan dari sistem yang rusak dan batil menuju sistem kepemimpinan Islam yang dikenal dengan istilah Khilafah Islam. Umat Islam tidak boleh lagi jatuh pada lubang yang sama dengan menerima jalan perubahan demokrasi yang hanya fokus pada perubahan orang karena akar semua persoalan ada pada paradigma sistem yang diterapkan.
Umat Islam sejatinya punya potensi besar untuk kembali mulia dan menumbangkan ideologi kufur yang eksis hari ini dengan modal ideologinya sendiri. Namun, perlu upaya dakwah pemikiran yang targetnya merevitalisasi keimanan, sekaligus membangun kesadaran bahwa Islam bukan hanya ajaran moral dan ritual, melainkan sistem hidup yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Itulah Islam ideologis.
Dakwah pemikiran yang bervisi perubahan sistem secara total dan mendasar ini tentu tidak mungkin dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan harus dilakukan berjemaah sebagaimana dicontohkan baginda Rasulullah ﷺ. Jemaah dakwah inilah yang akan berjuang di tengah umat hingga muncul kesadaran komunal atas urgensi dan kewajiban bersegera hidup dalam naungan Islam.
Suatu saat, dengan pertolongan Allah, kesadaran komunal ini akan berubah menjadi kekuatan besar yang mendorong perubahan sistem sebagaimana yang terjadi di Madinah al-Munawwarah. Saat itulah umat Islam akan bangkit kembali pada jati dirinya yang hakiki, yakni menjadi umat terbaik yang siap menebarkan rahmat bagi sekalian alam di bawah sistem pemerintahan Khilafah yang dijanjikan. Wallahualam bissawab.











