Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian buka suara terkait belum ditetapkannya status bencana nasional terhadap bencana banjir dan longsor di Sumatra Utara (Sumut), Aceh, dan Sumatra Barat (Sumbar). Ia menuturkan, meski status bencana nasional belum ditetapkan, akan tetap penangnan bencana di wilayah tersebut dilakukan sudah setara bencana nasional.
Tito menuturkan, tidak hanya Presiden Prabowo Subianto, para menteri juga menuju ke lokasi bencana, baik di Sumut, Aceh, maupun Sumbar, dengan mengerahkan semua kekuatan nasional. Lebih lanjut ia menilai hal yang terpenting saat ini yakni tindakan yang dilakukan oleh pemerintah. (kompas TV, 02/12/2025 )
Mencermati sejumlah bencana alam yang terjadi bersamaan ini, kita bisa menyimpulkan bahwa sejatinya bencana tersebut bersifat musiman. Untuk banjir, tanah longsor, pohon tumbang, hingga jalan amblas penyebab utamanya karena curah hujan ekstrem. Ini tidak jauh berbeda dengan musibah rob di Kepulauan Seribu yang merupakan dampak pasang maksimum air laut.
Proses mitigasi semestinya tidak sulit karena persoalan curah hujan ekstrem dan fenomena alam seperti air laut pasang, kejadiannya terulang pada waktu yang sama pada setiap tahunnya. Namun, dalam hal ini setidaknya ada hal-hal yang harus kita cermati lebih mendalam.
Harus kita akui, upaya pemerintah untuk melakukan mitigasi bencana, langkah-langkah antisipasi, serta pembiayaan sarana dan prasarana penanganan bencana memang lemah. Juga evaluasi kondisi lahan setempat dalam kaitannya dengan pembukaan dan alih fungsi lahan yang seolah-olah diabaikan begitu saja. Kita bisa melihat bahwa pemerintah lamban dalam penanganan bencana, mitigasi pun dilakukan seadanya.
Selain itu, satu hal penting yang tidak bisa kita abaikan adalah kerusakan lingkungan. Sebagai contoh di Sumut, faktor pemicu utama deforestasi di Sumut adalah izin konsesi perkebunan—terutama kelapa sawit—dan perambahan hutan.
Sedangkan pada bencana banjir rob di Kepulauan Seribu, diketahui bahwa telah terjadi pembangunan di Kepulauan Seribu, terutama di Pulau Pari, yang merusak lingkungan. Pada pembangunan tersebut terjadi pengerukan pasir ilegal dan pembangunan resor yang menyebabkan kerusakan ekosistem mangrove, terumbu karang, dan padang lamun.
Padahal, ekosistem pesisir seperti hutan mangrove sangat efektif mengurangi risiko rob karena berfungsi sebagai penahan alami gelombang, meredam energi ombak, serta mengurangi abrasi dan erosi pantai. Selain itu, ekosistem mangrove juga membantu menyerap polutan dan menjaga stabilitas ekosistem pesisir secara keseluruhan.
Berdasarkan realitas ini, kita bisa menilai bahwa mitigasi bencana di negeri kita begitu payah, alih-alih mampu menanggulangi bencana secara tuntas. Tidak heran, bencana alam terjadi berulang kali setiap tahunnya, bahkan memburuk saat curah hujan ekstrem. Ini karena mitigasi dan penanganannya seadanya. Namun, curah hujan ekstrem malah sering kali menjadi kambing hitam. Sedangkan kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan dan pembalakan liar justru kurang diperhatikan.
Memprihatinkan, negeri kita yang sejatinya gemah ripah loh jinawi ternyata menjadi langganan bencana alam. Miris, mitigasi bencana ala kadarnya. Kurangnya sarana dan prasarana penanggulangan bencana pun turut memperburuk keadaan. Lagi-lagi, rakyatlah yang menjadi korban.
Sayang, solusi yang diambil oleh pemerintah nyatanya hanya bersifat tambal sulam. Sikap pemerintah ini tidak terlepas dari penerapan sistem sekuler kapitalisme sehingga penguasa lebih fokus pada cuan dibandingkan berupaya serius mengurus rakyatnya, apalagi di tengah bencana. Kita bisa melihat sejumlah alih fungsi lahan di kawasan yang saat ini terdampak banjir, seperti perkebunan sawit. Alih fungsi lahan tentu mustahil bukan untuk tujuan ekonomi.
Jelas, faktor penyebab bencana bukan sekadar cuaca ekstrem atau pasang air laut. Justru ketika lingkungan alam tidak rusak, cuaca ekstrem dan banjir rob bisa diatasi. Ini karena alam adalah benteng paling tepat untuk menghadapi fenomena ekstrem yang juga berasal dari alam.
Namun, pada saat bencana sudah benar-benar terjadi, penguasa tidak juga serius memfasilitasi berbagai sarana penanggulangan dan penanganan korban. Setiap musim bencana, kita patut bertanya, di mana peran negara?
Miris, faktor keterbatasan anggaran dan peralatan selalu menjadi alasan kelambanan di lapangan. Bukan tidak mungkin, bantuan pemerintah untuk bencana alam sering kali seadanya. Selain itu, bantuan kerap terlambat datang dengan alasan lokasi sulit dijangkau. Juga personel penanganan bencana yang belum tiba di lokasi karena masih menangani bencana di daerah lain. Alih-alih bicara mitigasi yang memadai sebelum terjadinya bencana, untuk tanggap darurat saja pemerintah sering kali gagap.
Solusi yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah bencana sebagai sesuatu yang penanganannya harus sistemis. Sistem sekuler kapitalisme meniscayakan keserakahan dan ketamakan untuk mengeksploitasi SDA demi keuntungan penguasa dan kroninya. Mereka tidak peduli dengan nasib masyarakat luas yang terdampak, bahkan menjadi korban bencana alam. Atas alasan ini, tidak layak kita berharap dengan solusi dari kapitalisme yang jelas tambal sulam.
Sejatinya, bantuan yang rakyat harapkan adalah bantuan yang lebih strategis dibandingkan sekadar logistik. Di antaranya berupa bantuan dana, alat berat, jumlah personel penyelamat yang memadai, pembangunan jalan alternatif untuk membuka jalur transportasi yang putus akibat bencana, juga kebijakan publik untuk melarang alih fungsi hutan menjadi perkebunan.
Sikap lamban negara menangani bencana alam tidak terlepas dari paradigma sekuler kapitalistik sehingga menyebabkan para penguasa tidak memiliki sensitivitas, kepedulian, dan keinginan serius untuk menyolusi bencana secara tuntas dan mengakar. Kita justru mendapati banyak kebijakan penguasa yang menjadi penyebab munculnya bencana, bahkan berpotensi menimbulkan bencana baru. Pembukaan lahan menjadi perkebunan sawit dan pertambangan adalah bukti nyata. Untuk itu, paradigma usang kapitalisme ini harus diganti dengan paradigma sahih, yakni Islam.
Paradigma Islam dalam Menanggulangi Bencana Alam
Islam menetapkan fungsi kepemimpinan adalah mengurusi urusan umat (raa’in) dan melindungi mereka (junnah). Penguasa wajib mengerahkan segala daya untuk menyejahterakan umat dan menjauhkan mereka dari semua hal yang membinasakan.
Allah Taala berfirman di dalam ayat,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Ruum [30]: 41).
Juga ayat,
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَّا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS Al-Anfal [8]: 25).
Sungguh, bencana alam sejatinya alarm agar manusia berhenti berbuat kerusakan. Kedua ayat di atas memberikan gambaran bahwa bencana alam bisa terjadi karena kerusakan yang dilakukan manusia.
Dalam urusan penanganan bencana, para pemimpin di dalam sistem Islam dituntut untuk melakukan berbagai hal demi mencegah bencana, sekaligus menghindarkan masyarakat dari risiko bencana. Yang paling mendasar adalah dengan cara menerapkan aturan dan kebijakan yang tidak merusak lingkungan, termasuk hal-hal yang bisa mengundang azab Allah Taala.
Perihal mitigasi, ini adalah tanggung jawab penuh penguasa karena menyangkut fungsi kepemimpinannya. Sedangkan, aktivitas menolong yang bisa dilakukan oleh masyarakat secara swadaya, itu adalah amal saleh yang juga dianjurkan oleh Islam.
Pemimpin di dalam sistem Islam akan membuat berbagai kebijakan seputar penataan lingkungan dan pemetaan lahan. Ada lahan-lahan khusus yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sehingga tidak boleh dialihfungsikan menjadi permukiman, pertanian, infrastruktur, apalagi pariwisata. Kawasan konservasi ini berperan sebagai penyangga ekosistem.
Untuk kawasan yang rawan bencana, ini harus diatur menurut manajemen kebencanaan, mulai dari edukasi kebencanaan, pembangunan infrastruktur yang memadai seperti bangunan antigempa, serta sistem peringatan dini dan penanganan bencana yang sistemis dan terpadu. Begitu pula soal sistem logistik darurat serta sistem kesehatan yang menjadi bagian integral dari sistem penanganan terpadu kebencanaan, semuanya harus benar-benar diperhatikan. Dengan begitu, korban bencana yang tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, tetap mendapatkan jaminan kebutuhan primer bagi dirinya dan keluarganya.
Persoalan penanganan dan penanggulangan bencana ini sangat diperhatikan oleh sistem Islam. Bahkan, di dalam sistem keuangan negara Islam (Khilafah) terdapat pos keuangan khusus untuk rehabilitasi bencana. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani memerinci hal tersebut di dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi Islam), bab “Baitulmal” pada pembahasan pengeluaran baitulmal. Di dalamnya dijelaskan bahwa kas negara Islam (baitulmal) memiliki pos pengeluaran khusus, yakni pos yang hak pembelanjaannya terjadi karena adanya unsur keterpaksaan, seperti bencana alam.
Pembelanjaan pada pos tersebut tidak ditentukan berdasarkan keberadaan harta, melainkan hak paten, baik ada harta maupun tidak. Jika harta tersebut ada, harta itu wajib disalurkan seketika. Jika harta tersebut tidak ada, kewajiban pembiayaan bencana dipikul oleh kaum muslim. Harta tersebut wajib dikumpulkan dari kaum muslim seketika itu juga, kemudian diletakkan di baitulmal untuk segera disalurkan kepada yang berhak.
Jika dikhawatirkan akan terjadi penderitaan karena pembelanjaannya ditunda hingga harta terkumpul, negara wajib meminjam harta yang paten dahulu. Lalu harta pinjaman itu diletakkan di baitulmal dan segera disalurkan kepada yang berhak. Harta pinjaman itu akan dibayar dari harta yang sudah berhasil dikumpulkan oleh kaum muslim.
Meski demikian, baitulmal tidak menunggu agar harta di pos pendanaan bencana alam tersebut dapat dibelanjakan. Baitulmal memiliki sejumlah mekanisme pendanaan untuk mengantisipasi terjadinya bencana atau hal-hal buruk yang bisa menimpa masyarakat. Hal ini misalnya pembiayaan tata kelola lingkungan agar mencegah kerusakan, edukasi terhadap masyarakat perihal mitigasi bencana, studi kelayakan tata ruang dan permukiman, pembangunan infrastruktur yang memadai, dll.
Dengan demikian, persoalan dana tidak akan menjadi hambatan yang serius bagi mitigasi dan penanggulangan bencana. Atau bahkan menjadi alasan bagi pihak asing maupun lembaga nonpemerintah untuk membangun pengaruh politik melalui tawaran utang dan bantuan. Sungguh tidak layak jika kita lagi-lagi mengambil solusi yang tambal sulam. Wallahualam bissawab.












