Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
BAGI Gen Z yang lahir dan tumbuh di tengah derasnya arus internet, urusan keuangan kini tak lagi rumit. Hanya dengan beberapa klik di ponsel, mereka bisa meminjam uang, membeli barang, atau bahkan membayar gaya hidup. Tak perlu datang ke bank, tak perlu jaminan. Semua serba cepat, mudah, dan instan.
Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi jebakan halus, yaitu budaya hidup dengan utang digital. Banyak anak muda kini hidup di atas tumpukan tagihan yang tak mereka sadari besarnya. Mereka merasa mampu karena bisa “bayar nanti”, padahal sebenarnya sedang mencicil masa depan.
Fenomena ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi soal mentalitas generasi, yaitu generasi yang hidup dalam tekanan sosial, impulsif dalam mengambil keputusan, dan haus validasi digital. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Agustus 2025, lebih dari 60 persen pengguna pinjaman daring berusia antara 19 hingga 34 tahun. ( Kompas. com, 16/10/2025 )
Kondisi anak terjerat judol dan pinjol tidak terjadi begitu saja. Namun, ada fungsi pengawasan yang tidak berjalan. Pihak yang seharusnya menjaga dan melindungi anak dari perilaku negatif, termasuk judol dan pinjol adalah individu orang tua, sekolah/masyarakat, serta negara. Sayang, hampir semua benteng pelindung anak ini jebol dan tidak berfungsi.
Orang tua kini banyak abai terhadap anak. Fatherless dan motherless menjadi fenomena yang jamak terjadi. Orang tua ada, tetapi tidak menjalankan perannya mendidik anak. Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Beban ekonomi yang harus orang tua tanggung makin berat karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme oleh negara. Akibatnya, mayoritas waktu orang tua habis untuk bekerja. Setelah sampai di rumah, jiwa dan raga sudah lelah sehingga tidak sempat memperhatikan pendidikan anak. Kondisi orang tua dan anak yang berjauhan juga mengakibatkan lemahnya pengawasan orang tua. Orang tua harus bekerja di luar kota sehingga waktu bertemu anak sangat minim.
Acapkali, bukan hanya pemenuhan kebutuhan ekonomi yang orang tua kejar. Namun, standar kapitalisme telah mencetak para orang tua yang lebih mementingkan pencapaian finansial daripada pendidikan anak. Ini tidak lepas dari minimnya pemahaman agama orang tua, terutama tentang kewajiban mendidik anak.
Para orang tua ini adalah produk pendidikan sekuler yang menjauhkan agama dari materi ajar di sekolah. Kalaupun ada mata pelajaran Pendidikan Agama Isam dan Budi Pekerti, durasinya sangat minim dan muatannya sangat sekuler seiring dengan program moderasi beragama. Semua itu menjadikan orang tua tidak berperan mengawasi anak. Namun, penyebabnya bukan faktor tunggal dari sisi kelalaian orang tua, melainkan ada faktor absennya negara dalam mendukung peran orang tua.
Sementara itu, benteng kedua yaitu sekolah juga jebol dan tidak berfungsi. Saat ini kurikulum makin sekuler dan materialistis. Anak belajar di sekolah sekadar untuk bisa menjawab pertanyaan ujian, bukan untuk menjadi sosok yang berkepribadian mulia. Aspek akidah, ketaatan pada syariat, adab, dan akhlak tidak menjadi hal utama dalam pendidikan. Sekolah sibuk dengan pemberian materi-materi pelajaran semata demi tujuan kapitalistik. Akibatnya, akhlak dan perilaku anak bermasalah.
Miris, ketika ada guru yang hendak bersikap tegas untuk meluruskan perilaku anak dan mengajari mereka akhlak mulia, orang tua justru bersikap resisten dan melaporkan guru pada kepolisian. Jasa guru mendidik anak bangsa justru dibalas dengan ancaman kriminalisasi. Akhirnya guru enggan meluruskan siswa yang berperilaku buruk.
Sementara itu, literasi digital dan pendidikan karakter tidak mampu membentengi anak dari judol dan pinjol karena tidak berakar pada pemahaman yang kukuh, yaitu akidah. Dua materi tersebut sebatas menjadi norma yang disampaikan pada murid, tetapi tidak membekas pada akal dan jiwa mereka.
Apalagi benteng ketiga juga tidak berfungsi, yaitu negara. Memang betul bahwa negara memiliki regulasi yang melarang judol dan pinjol ilegal, tetapi pelaksanaannya jauh dari harapan. Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memang menyatakan bahwa segala bentuk perjudian, baik konvensional maupun digital, adalah ilegal dan diancam dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp25 juta. UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 27 ayat 2 juga mengancam pelaku judi online akan dipidana hukuman penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda maksimal satu miliar rupiah.
Namun, negara hanya berperan sebagai regulator, yaitu pembuat regulasi. Setelah regulasi ada, seolah-olah tugas pemerintah sudah paripurna, tanpa ada upaya serius untuk memberantas judol hingga tuntas. Kalaupun ada upaya Kemenkomdigi untuk menangani konten judol, nyatanya konten seperti itu ibarat mati satu tumbuh seribu. Antara penanganan oleh pemerintah dengan “manuver” bandar sungguh tidak seimbang. Ini menunjukkan bahwa negara kalah melawan bandar judol.
Pemerintah beralasan bandar judol ada di luar negeri, seperti di Thailand, sehingga situs judol sulit untuk ditutup. Namun, upaya untuk menutup akses bandar ke wilayah Indonesia juga tidak ada. Sedangkan negara lain ada yang bisa menutup akses platform global ke wilayahnya sehingga tidak ada platform tersebut di wilayahnya. Cara seperti ini bisa dilakukan, tetapi sayang tidak ada upaya serius dari pemerintah.
Bahkan, pemerintah membuat wacana absurd, yaitu melegalkan judol agar pajak dan perputaran uangnya tetap di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa pengaruh pengusaha judol sudah sampai ke lingkaran kekuasaan. Oknum aparat pemerintah banyak yang terjerat judol. Bahkan, pernah ada oknum anggota DPR yang tepergok bermain judol di tengah-tengah rapat yang seharusnya membahas kemaslahatan rakyat. Dengan banyaknya oknum yang terjerat judol, upaya pemberantasan judol makin sayup-sayup.
Lebih-lebih lagi sistem hukum kita juga lemah. Hukum sekuler tidak mampu memberi sanksi tegas yang menjerakan pada pelaku judol. Bandar judol bahkan jauh dari jangkauan hukum. Mereka seolah-olah kebal hukum karena kekuatan uang yang mereka miliki.
Jebolnya tiga benteng pelindung menjadikan generasi muda menjadi sasaran empuk pengusaha judol dan pinjol. Jika sekian persen saja anak-anak terjerat judol, terbayang besarnya keuntungan bandar. Yang menjadi korban adalah generasi muda dan masa depan negara ini. Dengan kualitas generasi yang sudah morat-marit karena terjerat judol dan pinjol, bisa diprediksi masa depan Indonesia akan buram, kecuali ada perubahan fundamental yang dilakukan.
Harus ada perubahan cara pandang terhadap judol. Saat ini di bawah sistem kapitalisme, judol dianggap sebagai solusi cepat untuk memperoleh kekayaan dan keluar dari kemiskinan tanpa harus kerja keras. Meski judol sudah jelas diharamkan agama dan melanggar aturan negara, tetap saja judol merajalela.
Hal ini karena sistem sekuler kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tujuan utama, sedangkan halal/haram (aturan agama) diabaikan. Selama sistem kapitalisme ini masih diterapkan, judol dan pinjol akan terus merajalela dan generasi menjadi korbannya. Saat ini sejatinya masa depan bangsa dan negara sedang dipertaruhkan. Jika tidak segera mengganti kapitalisme dengan sistem yang sahih, yaitu Islam, nasib generasi dan negara akan porak-poranda.
Secara fundamental, sistem Islam berasaskan akidah Islam. Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya akan membentuk sudut pandang khas pada diri seorang muslim terhadap segala sesuatu, termasuk judol dan pinjol, yaitu bahwa setiap perbuatan muslim harus terikat dengan syariat.
Syekh ‘Atha’ bin Khalil dalam Taisir al-Wushul ila al-Ushul hlm. 10 menyebutkan kaidah “Al-ashlu fî al-af’âl at-taqayyudu bi al-hukmi asy-syar’iy (hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syariat).” Di antara dalilnya adalah firman Allah Taala,
وَنَزَّلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ تِبۡيَٰنٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ ٨٩
‘’Kami menurunkan kepada kamu Alkitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (QS An-Nahl [16]: 89).
Juga berdasarkan sabda Rasulullah SAW,
كُلُّ أَمْرٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
‘’Setiap perkara yang bukan termasuk ke dalam urusan kami (tidak kami perintahkan) adalah tertolak.”(HR Ad-Daruquthni).
Berdasarkan asas akidah ini, individu, sekolah/masyarakat, dan negara akan memandang pinjol dan judol sesuai pandangan syariat, yaitu bahwa keduanya haram. Hal ini berdasarkan firman Allah Taala,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (QS Al-Maidah [5]: 90).
Berdasarkan ayat ini, judi hukumnya haram, baik online (judol) maupun offline.
Allah Taala juga berfirman,
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
“Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(QS Al-Baqarah [2]: 275).
Berdasarkan ayat ini, pinjol hukumnya juga haram. Baik pinjol legal maupun ilegal hukumnya sama-sama haram karena sama-sama mengandung riba.
Sebagai sebuah keharaman, individu, sekolah, masyarakat, maupun negara akan memandang judol dan pinjol sebagai sesuatu yang harus diberantas, tidak boleh dibiarkan ada, apalagi sampai merajalela.
Kesadaran terhadap keharaman judol dan pinjol tidak bisa dibiarkan terwujud secara alami, tetapi negara harus serius mewujudkannya di tengah masyarakat. Langkah yang negara (Khilafah) tempuh adalah menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam sehingga menghasilkan generasi yang bertakwa. Dalam Muqaddimah ad-Dustur pasal 165—167 disebutkan:
– Pasal 165:
Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Seluruh materi pelajaran dan metode pengajaran dalam pendidikan disusun agar tidak menyimpang dari landasan tersebut.
– Pasal 166:
Strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir islami (akliah islamiah) dan jiwa yang Islami (nafsiah islamiah). Seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan disusun atas dasar strategi tersebut.
– Pasal 167:
Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islami (syakhshiyah islamiah) dan membekalinya dengan ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan masalah kehidupan. Metode pendidikan dirancang untuk merealisasikan tujuan tersebut. Setiap metode yang berorientasi bukan kepada tujuan tersebut dilarang.
Dengan sistem pendidikan Islam akan terwujud anak-anak (generasi muda) yang bertakwa kepada Allah Taala sehingga terhindar dari kemaksiatan, termasuk judol dan pinjol.
Selain pendidikan di sekolah, anak-anak juga mendapatkan pendidikan dari orang tuanya di rumah. Orang tua bertanggung jawab menanamkan akidah, ketakwaan, dan akhlak mulia pada anak-anaknya.
Khilafah juga melindungi generasi muda dari jeratan judol dan pinjol dengan memutus total akses konten pinjol dan judol ke wilayah Khilafah. Jika ada platform digital yang terafiliasi atau memberi ruang pada judol dan pinjol, negara akan menutupnya total. Platform tersebut baru boleh beroperasi jika taat pada syariat.
Adapun terkait game online, meski hukum asalnya permainan itu mubah, tetapi jika diduga kuat melalaikan dari kewajiban, seperti salat, menuntut ilmu, dll. serta berdampak negatif seperti kecanduan dan kekerasan dan justru disisipi konten judol, negara akan melarang peredaran game online tersebut. Selain itu, profil masyarakat Islam bukanlah profil orang yang suka menghabiskan waktu untuk aktivitas yang sia-sia (tidak produktif) seperti game online. Apalagi game online juga bisa menyebabkan kecanduan yang membahayakan mental generasi.
Negara akan melakukan langkah hukum yang menjerakan terhadap bandar judol, pemilik usaha pinjol (legal maupun ilegal), serta aparat negara yang terlihat judol dan pinjol. Masyarakat yang terlibat juga akan diberi sanksi tegas. Dengan demikian akan terwujud rasa jera. Sanksi bagi pelaku dan bandar judi adalah takzir. Syekh ‘Abdurrahmān al-Mālikī menjelaskan secara khusus jenis sanksi takzir yang terkait judi, baik bagi pemain maupun bandar judi, yaitu,
كُلُّ مَنْ مَلَكَ ماَلاً بِعَقْدٍ مِنَ الْعُقُوْدِ الْباَطِلَةِ وَهُوَ يَعْلَمُ، يُعاَقَبُ بِالْجِلْدِ وَالسِّجْنِ حَتىَّ سَنَتَيْنِ
“Setiap orang yang memiliki harta dengan satu akad dari berbagai akad yang batil, sedangkan ia mengetahui maka dia dihukum dengan hukuman cambuk (maksimal sepuluh kali cambukan) dan dipenjara hingga 2 (dua) tahun.” (‘Abdurrahmān Al-Mālikī, Nizhām al-‘Uqūbāt, hlm. 99).
Bagi pelaku judol yang masih anak-anak (belum balig), mereka tidak dihukum, tetapi tetap akan dinasihati agar jera. Negara akan memanggil orang tuanya dan memberi sanksi kepada orang tuanya karena melalaikan pendidikan anak.
Demikianlah Khilafah memberi solusi holistik sistemis untuk melindungi generasi dari jeratan judol dan pinjol. Dengan demikian, negara akan memiliki generasi calon pemimpin yang cemerlang. Wallahualam bissawab.






