Oleh: Kak Ada
Banjir bandang yang melanda Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Sundang Danau, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Sumatra Selatan, pada Selasa (23/9/2025) dini hari, menelan tiga korban jiwa dan merusak delapan rumah warga. Air bah datang dengan cepat, menghantam permukiman ketika sebagian besar warga masih terlelap.
Kepala BPBD Sumatra Selatan, Sudirman, menjelaskan bahwa curah hujan tinggi menjadi penyebab utama meluapnya sungai dan memicu banjir bandang (liputan6.com, 28/09/2025).
Lemahnya Empati, Hilangnya Kesungguhan Penanggulangan Banjir
Peristiwa bencana banjir bukanlah yang pertama. Banjir serupa kerap berulang dari tahun ke tahun di beberapa wilayah Sumsel seperti OKU, Lahat, dan Muara Enim.
Lebih ironis lagi, setiap kali bencana datang, pola sikap yang sama berulang. Para pejabat muncul di lokasi banjir dengan rombongan besar, mengenakan sepatu bot, memberi bantuan seadanya, lalu berbicara panjang di depan kamera. Mereka berjanji akan menindaklanjuti, namun setelah berita reda, perhatian pun ikut menghilang.
Respons mereka sering terasa lebih seremonial daripada solutif. Kehadiran di tengah korban lebih tampak sebagai ajang pencitraan dibandingkan sebagai bentuk tanggung jawab nyata. Warga memang mendapat bantuan sementara, tapi akar masalahnya tidak ditanggulangi seperti rusaknya hutan, buruknya tata ruang, dan lemahnya pengawasan, jarang sekali disentuh secara serius.
Padahal, jika pejabat benar-benar peduli, mestinya ada langkah nyata. Misalnya memperbaiki saluran air, menertibkan izin lahan, dan memastikan daerah rawan banjir dijaga dengan benar. Namun kenyataannya, semua itu sering berhenti pada wacana.
Ucapan duka dan janji penanganan cepat memang terdengar indah, tapi tanpa tindakan nyata, semuanya kosong. Seolah-olah hilangnya nyawa rakyat hanya menjadi bagian dari rutinitas tahunan yakni datang, simpati, lalu lupa.
Empati sejati tidak butuh panggung. Ia terlihat dari keseriusan pemimpin dalam mencegah bencana agar tidak terulang, bukan sekadar hadir setelah korban berjatuhan.
Tragedi di OKU Selatan menunjukkan betapa tipisnya empati dan kesungguhan penguasa terhadap penderitaan rakyat. Empati seharusnya melahirkan tindakan nyata untuk mencegah bencana serupa, bukan sekadar kunjungan singkat atau pernyataan di media.
Bencana berulang terjadi disebabkan oleh pola pembangunan kapitalistik yang mengejar investasi, tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan telah mengubah banyak daerah menjadi rentan bencana. Hutan gundul, drainase buruk, dan izin tambang yang serampangan menjadikan curah hujan tinggi berubah menjadi malapetaka. Ditambah lagi pejabat hanya sibuk dengan proyek atas nama rakyat, swasembada pangan, kemajuan ekonomi. Namun fakta manfaat keuntungannya hanya dirasakan oleh kapitalis dan kroni-kroninya, bukan untuk rakyat.
Empati pejabat seharusnya terwujud dalam kesungguhan mengoreksi arah pembangunan, bukan sekadar menambal akibatnya. Tapi sayang, sistem kapitalisme yang mengedepankan proyek dan pertumbuhan ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilan, tidak peduli dengan nasib rakyat.
Banjir di Sumsel bukan hanya soal hujan deras, tapi buah dari sistem pembangunan kapitalistik yang abai terhadap keseimbangan alam. Alam diperlakukan sebagai sumber keuntungan, bukan amanah yang harus dijaga. Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sering menempatkan dirinya sekadar sebagai fasilitator investasi, bukan sebagai penjaga kesejahteraan rakyat.
Bencana ekologis adalah konsekuensi dari sistem yang menuhankan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah daerah berlomba membuka kawasan industri, izin tambang, dan pembangunan jalan tanpa kajian lingkungan yang matang. Ketika banjir datang, rakyat yang menjadi korban.
Inilah bentuk nyata hilangnya empati tulus saat kebijakan lebih berpihak pada modal ketimbang daripada keselamatan hidup manusia.
Islam Mengatasi Bencana Ekologi
Islam menawarkan cara pandang yang berbeda. Dalam sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga jiwa rakyat dan mengelola alam secara berkelanjutan. Setiap kebijakan yang dikeluarkan negara diukur dari kesesuaian dengan syariat Islam beserta manfaatnya bagi umat, bukan dari besarnya investasi atau proyek. Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, pejabat publik adalah pelayan rakyat, bukan regulator dan fasilitator pemilik proyek. Hilangnya nyawa satu warga saja seharusnya cukup mengguncang hati pemimpin yang memiliki rasa tanggung jawab.
Negara wajib membangun sistem mitigasi bencana preventif yang berkelanjutan, mulai dari tata kelola DAS, pengelolaan hutan, hingga perumahan rakyat. Pemimpin tidak boleh membiarkan satu wilayah pun dibiarkan rawan tanpa perlindungan. Karena hakikat pemimpin adalah sebagai ra’in (pengurus) rakyat. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya” (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam pandangan ini, empati bukanlah slogan, tapi tanggung jawab dan dorongan akidah. Pejabat yang lalai melindungi rakyat dari bencana akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak di akhirat.
Oleh karena itu, solusi hakiki tidak cukup dengan memperbaiki sistem tanggap darurat dalam kerangka kapitalisme. Tapi lebih dari itu, yaitu dibutuhkan adanya perubahan sistemik menuju tata kelola Islam kafah. Dalam Islam, negara benar-benar hadir untuk mencegah bencana, menjaga alam, dan melindungi setiap nyawa rakyatnya.
Oleh karena itu, peraturan dan penerapan harus sesuai dengan prinsip Islam sebagai dasar pengelolaan negara. Dalam Islam, negara (khilafah) tidak menyerahkan pengelolaan alam kepada korporasi, melainkan negara langsung yang mengatur dan mengawasinya agar tetap dalam koridor kemaslahatan umat.
Khilafah memastikan pemimpin memiliki empati sejati, karena kepemimpinannya lahir dari amanah, bukan ambisi politik. Pemimpin dalam khilafah sadar, bahwa setiap kebijakan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Dengan paradigma ini, pembangunan tidak akan bertujuan pada keuntungan, melainkan pada keseimbangan dan keberlanjutan hidup manusia dengan alam. ***