Oleh: Khurunninun Q. A’ (Aktivis Dakwah)
Peringatan Hari Santri setiap tanggal 22 Oktober telah menjadi agenda nasional yang sarat dengan berbagai kegiatan seremonial mulai dari upacara bendera, kirab santri, lomba baca kitab kuning, hingga festival sinema bertema pesantren. Antusias publik begitu besar, terutama karena pengakuan negara terhadap jasa para ulama dan santri dalam perjuangan kemerdekaan.
Tahun ini, dengan tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” presiden Prabowo Subianto menyerukan agar para santri menjaga moral dan menjadi pelopor kemajuan bangsa. Ia pun menyinggung Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, seruan jihad melawan penjajah yang kemudian menjadi inspirasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Seperti yang dilansir dari KOMPAS.com- Dalam rangka peringatan Hari Santri Nasional 2025, Presiden Prabowo Subianto membahas tentang Resolusi Jihad 1945. Presiden ke-8 RI itu mengajak para santri di seluruh Indonesia meneladani semangat perjuangan para ulama dan pejuang kemerdekaan.
Dalam pesannya yang dilansir melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (24/10/2025), ia menyebut Hari Santri sebagai momentum untuk mengenang jasa besar para ulama dan santri yang turut berjuang merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Namun, di balik gegap gempita peringatan tersebut, muncul pertanyaan reflektif, apakah semangat jihad, keilmuan, dan peran strategis santri dalam menjaga agama dan umat masih benar-benar dihidupkan, ataukah Hari Santri kini hanya berhenti pada tataran simbolik dan seremoni?
Santri dan Tantangan Zaman
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peringatan Hari Santri cenderung didominasi kegiatan simbolik. Nilai faqih fiddin yaitu kedalaman pemahaman agama yang seharusnya menjadi ciri khas santri belum benar- benar diaktualisasikan dalam kehidupan sosial politik.
Alih-alih menjadi penggerak perubahan menuju penerapan nilai-nilai Islam secara kaffah, santri kerap diarahkan menjadi “agen moderasi beragama” atau “agen pemberdayaan ekonomi.”
Kedua peran ini walaupun sekilas positif, seringkali justru menjauhkan santri dari misi utamanya yakni menjaga kemurnian aqidah dan memperjuangkan tegaknya syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Di sinilah muncul paradoks. Pujian terhadap semangat jihad santri tempo dulu tidak sejalan dengan kebijakan masa kini yang justru mensterilkan pesantren dari perjuangan ideologis melawan bentuk penjajahan modern, baik berupa dominasi ekonomi kapitalistik, hegemoni budaya liberal, maupun ketergantungan politik pada kekuatan asing.
Jihad Santri Melawan Penjajahan Gaya Baru
Santri sejatinya adalah pewaris peran ulama mujahid yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga memimpin umat melawan penindasan. Jihad mereka bukan semata melawan penjajah fisik, tetapi juga melawan sistem dan ideologi yang menindas umat.
Penjajah masa kini hadir dalam wajah baru yaitu penjajah ekonomi, penjajah budaya, dan penjajah pemikiran. Umat Islam dijauhkan dari syariatnya, pesantren diarahkan menjadi institusi “inklusif” yang menyesuaikan diri. Dengan nilai-nilai sekuler, dan santri didorong menjadi “warga global” ketimbang menjadi pelanjut perjuangan Rasulullah SAW.
Padahal Allah SWT berfirman: “Dan Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan sejati hanya terjadi jika umat termasuk para santri kembali pada identitas dan misinya pada kebenaran dan pelaksanaan syariat Islam.
Santri sebagai Faqih Fiddin dan Agen Perubahan
Peran strategis santri dalam Sejarah Islam selalu berakar pada dua kekuatan utama yaitu Faqih Fiddin dan agen perubahan (muharrik at-taghyir), selain memiliki pemahaman mendalam tentang Islam sebagai system kehidupan yang mengatur seluruh aspek, santri juga harus menjadi pelaku yang aktif dalam menegakkan kebenaran dan melawan kebatilan, bukan sekadar penonton perubahan sosial.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman.” Hadist ini menegaskan bahwa santri tidak cukup menjadi simbol moralitas, tetapi harus menjadi pelaku perubahan yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara nyata.
Di sini peran negara seharusnya memfasilitasi dan menjamin eksistensi pesantren bukan hanya sebagai lembaga pendidikan alternatif, tetapi sebagai benteng peradaban Islam. Pesantren hrus diarahkan untuk mencetak mujahid fikri dan mujahid dakwah, santri yang siap berdiri di garda terdepan melawan segara bentuk penjajahan dan kezaliman.
Solusi dan Jalan Keluar
Untuk menjadikan Hari Santri sebagai momentum kebangkitan sejati, bukan sekadar seremoni tahunan, beberapa Langkah perlu dilakukan, yaitu pesantren harus kembali kepada tujuan aslinya, mencetak santri yang faqih fiddin, kritis terhadap realitas, dan siap menjadi pemimpin perubahan berbasis syariat Islam.
Para santri juga perlu memahami politik sebagai bagian dari dakwah dan jihad fi sabilillah, bukan sekadar arena perebutan kekuasaan pragmatis. Pesantren juga perlu mandiri dari ketergantungan ekonomi dan ideologi terhadap bantuan negara atau lembaga internasional yang memiliki agenda sekulerisme. Kemudian melalui literasi, media, dan dakwah digital, santri harus menjadi pelopor narasi Islam kaffah di tengah dominasi wacana liberal dan kapitalistik.
Penutup
Hari Santri seharusnya menjadi momen aktivasi kesadaran kolektif umat Islam bahwa santri bukan sekadar simbol masa lalu, melainkan agen peradaban masa depan. Santri adalah penjaga kemurnian ajaran Islam, pelanjut perjuangan ulama, dan pelopor perubahan menuju masyarakat yang berlandasan tauhid dan keadilan.
Maka Hari Santri sejatinya bukan untuk mengenang sejarah, tetapi untuk meneguhkan arah perjuangan, mengembalikan peran santri sebagai penjaga Islam dan pembangun peradaban Islam yang gemilang. Wallahu ‘alam bishawab.













