Oleh : Wiwik Frumsia (Pendidik)
Foto seorang siswa SMA di Makassar berinisial AS, yang dengan santainya merokok dan mengangkat kaki di samping gurunya, Ambo, menyebar cepat di jagat maya. Insiden ini bukan sekadar cerita tentang kenakalan remaja, melainkan sebuah dilema besar yang dihadapi para pendidik di era modern.
Di satu sisi, ada guru yang ragu bertindak karena takut dicap melanggar HAM.
Di sisi lain, ada pendidik yang memilih jalur kekerasan, seperti kasus kepala sekolah di Banten yang menampar muridnya karena ketahuan merokok.
Polemik Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, Dini Fitri, diduga menampar siswa yang merokok di lingkungan sekolah telah diselesaikan secara damai. Orang tua siswa pun mencabut laporan polisi terhadap Dini. Insiden penamparan ini bermula ketika siswa bernama Indra ketahuan merokok oleh Dini di belakang sekolah. Dini pun menegur tapi Indra berbohong jika dirinya merokok. (Suara.com 18/10/25).
Peristiwa yang melibatkan seorang siswa SMA di Makassar berinisial AS, yang dengan santainya merokok dan mengangkat kaki di samping gurunya, menggambarkan krisis moral yang sedang melanda dunia pendidikan. Tindakan tersebut bukan sekadar kenakalan remaja biasa, melainkan refleksi dari pudarnya nilai-nilai sopan santun dan rasa hormat terhadap pendidik. Dalam konteks sosial, foto yang tersebar luas di media sosial ini menjadi bukti nyata bahwa sebagian pelajar kini kehilangan batas etika antara murid dan guru. Perkembangan teknologi dan media sosial turut mempercepat penyebaran perilaku negatif seperti ini, menjadikannya konsumsi publik yang memancing beragam reaksi. Di satu sisi, masyarakat marah atas perilaku siswa yang dinilai tak bermoral. Namun di sisi lain, ada pula yang menyoroti lemahnya kewibawaan guru akibat terbatasnya ruang untuk menegakkan disiplin. Fenomena ini menunjukkan bahwa dunia pendidikan sedang berada di persimpangan antara tuntutan hak asasi dan krisis moral generasi muda. Fenomena seperti ini juga tidak lepas dari dampak sistem sosial dan ekonomi yang cenderung liberal, di mana kebebasan sering dimaknai secara keliru tanpa disertai tanggung jawab moral. Negara yang terlalu abai dalam menegakkan nilai dan pengawasan sosial akhirnya melahirkan generasi yang tidak taat aturan dan kehilangan arah etika. Dalam kultur liberal semacam ini, remaja merasa bebas mengekspresikan diri tanpa batas, bahkan merokok dianggap sebagai simbol kedewasaan, jati diri, dan kebanggaan agar terlihat keren di hadapan teman sebaya. Ironisnya, rokok begitu mudah dijangkau oleh kalangan remaja, baik secara harga maupun ketersediaan, yang menunjukkan lemahnya pengawasan pemerintah terhadap peredaran produk berbahaya ini. Akibatnya, perilaku merokok di usia sekolah dianggap wajar dan bahkan menjadi tren gaya hidup. Ketika negara membiarkan hal-hal kecil seperti ini tanpa regulasi tegas, maka yang muncul adalah generasi yang menganggap pelanggaran sebagai bentuk kebebasan, bukan kesalahan moral. Di sinilah letak kegagalan sistem yang terlalu longgar dalam membentuk karakter bangitu
Di samping itu, Kasus yang menimpa Kepala SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, yaitu Dini Fitri, menunjukkan sisi lain dari dilema yang sama. Niat untuk menegakkan kedisiplinan justru berujung pada masalah hukum ketika ia menampar siswa yang berbohong setelah ketahuan merokok. Meski akhirnya kasus ini diselesaikan secara damai dan laporan dicabut, kejadian tersebut menjadi peringatan keras bagi para guru di seluruh Indonesia. Tindakan tegas dalam mendidik kini berada di area abu-abu yang rawan disalahartikan sebagai kekerasan. Masyarakat sering kali menilai tanpa melihat konteks, padahal banyak guru bertindak karena dorongan moral dan tanggung jawab mendidik. Kasus Dini menunjukkan betapa rapuhnya posisi guru saat ini antara ingin menegakkan aturan, tetapi dibatasi oleh ketakutan akan konsekuensi hukum dan tekanan publik.
Kedua insiden tersebut, baik di Makassar maupun di Banten, sesungguhnya adalah potret kecil dari krisis nilai yang lebih besar dalam sistem pendidikan kita. Hilangnya rasa hormat terhadap guru dan berkurangnya kepekaan moral di kalangan siswa menandakan kegagalan dalam pendidikan karakter, baik di rumah maupun di sekolah. Solusinya tidak bisa hanya menuntut guru untuk sabar atau siswa untuk sopan, tetapi harus dimulai dari sinergi antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan harus kembali menanamkan nilai adab sebelum ilmu. Selain itu, pemerintah perlu memberi perlindungan hukum yang jelas bagi guru yang bertindak dalam koridor pendidikan. Tanpa dukungan sistemik dan nilai moral yang kuat, dunia pendidikan akan terus terjebak dalam siklus krisis antara hak, kewajiban, dan kehilangan arah moral generasi penerus bangsa.
Padahal penghormatan murid kepada guru adalah adab agung dalam Islam. Dalam salah satu atsar dinyatakan: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak memuliakan yang tua, tidak menyayangi yang muda dan tidak mengetahui hak orang alim di antara kita” (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkâm al- Qur’ân, 17/241).
Dalam Islam, pendidikan sejati bukan sekadar transfer ilmu, tetapi terutama pembentukan karakter dan akhlak yang bersumber dari akidah Islam.
Krisis Pendidikan karakter ini sesungguhnya berakar pada sistem pendidikan sekuler. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini telah menghapus orientasi spiritual dan moral dari dunia pendidikan. Akibatnya, anak didik kehilangan arah dan makna hidup. Tujuan pendidikan berubah menjadi sekadar demi bekal mencari pekerjaan, bukan membentuk kepribadian mulia.
Para guru pun banyak yang ikut terseret arus krisis moral. Tidak sedikit kasus kekerasan, pelecehan dan korupsi di dunia pendidikan melibatkan pendidik itu sendiri. Intinya, masih banyak guru yang belum bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Padahal kata Imam al-Qusyairi: “Siapa saja yang tidak bisa menanamkan adab pada dirinya, maka orang lain tidak mungkin mempelajari adab dari dia” (Al-Qusyairi, Tafsîr al-Qusyayri, 2/36).
Inilah buah dari sistem pendidikan sekuler yang sejak awal memang berpaling dari al-Quran. Padahal Allah SWT telah menegaskan:
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), maka sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit” (QS Thaha [20]: 124).
Ketika sistem kehidupan, khususnya sistem pendidikan, tidak berlandaskan wahyu Allah SWT, maka hasilnya adalah kebingungan, penyimpangan dan kehancuran moral.
Dalam Islam, tujuan pendidikan bukan sekadar mencetak manusia cerdas, tetapi mencetak insan yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah islâmiyyah), yakni membentuk pola pikir (‘aqliyyah) dan pola sikap (nafsiyyah) yang didasarkan pada akidah Islam.
Tujuan pendidikan ini terangkum, antara lain, dalam firman Allah SWT saat menjelaskan tujuan pengutusan Rasulullah SAW:
“Dialah (Allah) yang mengutus di tengah-tengah kaum yang ummi seorang rasul dari kalangan mereka. Dia (bertugas) membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa/diri) mereka, serta mengajari mereka al-Quran dan hikmah; sementara mereka sebelumnya benar-benar ada dalam kesesatan yang nyata” (TQS al-Jum’ah [62]: 2).
Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa beliau diutus untuk membentuk akhlak mulia umat manusia. Demikian sebagaimana sabda beliau: “Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR al-Bazzaar dan al-Baihaqi).
Namun, dalam sistem sekuler, ketika pendidikan memisahkan ilmu dari iman, lahirlah generasi yang boleh jadi pandai, tetapi tidak berakhlak; boleh jadi pintar, tetapi tidak bermoral.
Karena itulah para ulama dulu sangat menekankan pentingnya mendahulukan pembinaan adab/akhlak terlebih dulu sebelum penyampaian ilmu.
Adab (akhlak) adalah fondasi ilmu. Dengan itu sistem pendidikan Islam melahirkan generasi para ulama dan ilmuwan yang cerdas sekaligus dipenuhi dengan keimanan dan ketakwaan.
Karena itu pula, dalam konteks pendidikan, Islam menanamkan akidah Islam pada anak didik sebagai hal pertama dan utama sebagai asas seluruh ilmu, yang akan membentuk perilaku mereka yang diatur oleh syariah, dan mengarahkan potensi mereka untuk beramal demi ridha Allah SWT.
Dalam Islam, Negara memiliki kewajiban langsung untuk menyelenggarakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat. Sebabnya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
Imam (Khalifah) adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia pimpin (HR al-Bukhari dan Muslim).
Negara pun wajib memastikan pendidikan berjalan dengan tujuan syar‘i yaitu: mencetak generasi beriman, berilmu dan berakhlak mulia.
Solusinya hanya satu: mengembalikan sistem pendidikan di bawah naungan syariah Islam yang diterapkan oleh Negara. Dengan kata lain sistem pendidikan sekuler harus diganti dengan sistem pendidikan Islam. Tentu di bawah sistem pemerintahan Islam yang berasaskan akidah Islam dan menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan, sebagaimana era Khilafah dulu. Inilah sistem yang pernah menjadikan umat Islam memimpin dunia selama berabad-abad.
Dengan demikian hanya dengan penerapan syariah Islam secara kâffah oleh institusi Negara, pendidikan akan kembali memancarkan cahaya. Dengan penerapan syariah Islam secara kâffah, Negara akan menjadi pelindung ilmu, penjaga adab dan penegak peradaban yang memuliakan manusia. Dari rahimnya akan lahir generasi ulama dan mujahid; generasi pemimpin dunia yang menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Wallahualam bishawab.








