Oleh: Qomariah (Aktivis Muslimah)
Kapitalisme global hari ini dikendalikan oleh AS dan Cina, yang menguasai infrastruktur digital dunia. Maka saat ini Indonesia sendiri diarahkan untuk mendukung Platformisasi ekonomi digital yang berbasis kapitalistik.
Bahkan Indonesia mencetak rekor dunia, bukan terkait prestasi olahraga ataupun ekonomi, tapi penggunaan ponsel untuk mengakses internet. Laporan digital 2025 global overview mencatat sebanyak 98,7% penduduk Indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk online, melampaui Filipina dan Afrika Selatan yang mencatat 98,5%.
Tak hanya itu, rata-rata waktu online harian masyarakat Indonesia juga tinggi, mencapai 7 jam 22 menit, meski lebih lama dan rata-rata global yakni 6 jam 38 menit, durasi ini masih di bawah Afrika Selatan dan Brazil yang menghabiskan lebih dari 9 jam daring setiap hari. CNBCIndonesia.(29/11/2025).
Di Indonesia tidak ada pembatasan usia untuk menggunakan medsos, padahal, medsos juga Ai terbukti berbahaya bagi kesehatan mental, bahwa Indonesia hanya dijadikan pasar bagi platform digital tersebut. Negara tidak tegas terhadap perusahaan digital dan tidak memiliki komitmen untuk melindungi generasi muda, calon pemimpin masa depan.
Di tengah derasnya harus digitalisasi, generasi muda saat ini berada di persimpangan yang mengkhawatirkan. Ruang digital yang seharusnya menjadi media edukasi dan penguatan karakter justru berubah menjadi ladang subur bagi konten merusak yang tak terkendali.
Bahkan, berbagai kasus penyimpangan perilaku kekerasan dan kegagalan kontrol diri, tidak lagi muncul secara sporadis tetapi menjadi fenomena yang semakin sering menghiasi pemberitaan, situasi ini menegaskan bahwa problem generasi hari ini bukan sekedar isu individu, melainkan persoalan sistemik yang berkaitan dengan pengelolaan ruang digital dan arah peradaban yang tengah berjalan.
Adapun ruang digital, aksesnya mudah dan dampaknya berat, sebab internet membuat seluruh lapisan masyarakat dengan mudah memperoleh informasi. Namun ironisnya, justru banyak sekali konten-konten yang merusak. seperti; kekerasan, pornografi dan porno aksi, judi online, pinjaman online, cyberbullying, human, trafficking, kekeliruan dalam pola pikir dan pola sikap, hingga penyimpangan dalam Akidah.
Sangat membahayakan, bahwa mayoritas media saat ini dikuasai kaum sekuler kapitalis, yang mana bagi mereka, tatanan digital adalah tatanan sekuler kapitalistik. Sebut saja media dan platform besar seperti Google, Meta, dan Tik tok, ketiganya beroperasi dalam logika bisnis.”menambang” big data pengguna untuk dikomersialkan.
Seorang akademi Harvard, Shoshana Zuboff (2019), menyebut era ini sebagai dag of surveillance capitalism (era kapitalisme pengawasan). Ia menjelaskan, betapa internet dan teknologi digital telah mengubah cara kerja kapitalisme, yakni mengeksploitasi data pribadi manusia untuk keuntungan ekonomi. Manusia tidak lagi dianggap sebagai subjek atau pengguna layanan, melainkan sebagai komoditas yang datanya diperdagangkan untuk memprediksi dan memodifikasi perilaku.
Sedangkan Google, sebagai pelopor kapitalisme pengawasan dengan fitur mesin pencariannya, hingga sistem Android yang bersemat pada sebagian besar ponsel pintar di dunia. Riwayat pencarian pengguna, pesan suara, jejak rute peta perjalanan, atau kontak di email, dikonversi ke dalam data yang kemudian menjadi komoditas bagi perusahaan digital lainnya.
Inilah jebakan kapitalisme global, terutama yang dikendalikan AS dan Cina, yang menguasai infrastruktur digital dunia. Bahwa, konferensi PBB tentang perdagangan dan pembangunan menunjukkan konsentrasi perusahaan digital terbesar ada di dua negara tersebut. Bahkan Indonesia sendiri diarahkan untuk mendukung pelaksanaan ekonomi digital yang berbasis kapitalistik. Oleh karenanya, generation gap sebenarnya berfungsi ganda, yakni membela masyarakat dan mempermudah kontrol terhadap umat melalui tatanan sekuler digital.
Oleh sebab itu, kita memiliki kepentingan untuk memotret dan mengkritisi fenomena ini, mengingat generasi muslim khususnya kaum muda adalah; aset untuk mewujudkan perubahan mendasar dan menyeluruh, dalam kehidupan yang rahmatan lil alamin.
Namun dari sudut pandang ideologis, narasi kesenjangan generasi ini bukanlah semata persoalan usia atau gaya hidup, melainkan bagian dari hegemoni nilai kapitalisme yang bergerak liar lewat ruang digital. Seperti”kebebasan tanpa batas”identitas konsumen”viral adalah validasi”menjadi norma baru yang dianut, bahkan oleh generasi muda muslim saat ini.
HegeMoni di ruang digital ini kemudian melahirkan rekayasa mengenai generasi. Media dan pemasar menciptakan konsepsi yang disederhanakan tentang identitas mereka, kemudian mengemasnya untuk menjual produk, layanan, hingga pandangan politik dan standar hidup.
Adanya perbedaan nilai antar generasi ini juga dimanfaatkan untuk menciptakan pasar Baru, yakni personalized marketing yang menyasar”jiwa muda”dengan gaya hidup konsumtif, narsistik, dan instan. Akibatnya, tanpa disadari, kebanyakan generasi milenial dan gen z sebagai digital natives. Dipaksa tumbuh dengan karakter sekuler. Mereka terjebak dalam perangkap gambaran generasi bentuk media; yaitu, mengejar validasi sosial, mencari kepuasan instan, menjunjung autentisitas tanpa batas nilai, sebagai standar kebenaran, bahkan idealisme mereka menjadi pragmatis.
Sehingga memunculkan krisis identitas dan kerusakan mental, rekayasa berujung pada jauhnya generasi muda muslim dari tsaqofah Islam. Juga menyaring nilai Islam agar tidak populer, bahkan tanpa ekstrem, dan generasi muda muslim pun makin asing dengan ajaran agamanya sendiri. Bukan hanya pada tataran individu, bahkan konflik sosial yang dapat mengikis hubungan antar generasi, termasuk dalam keluarga muslim dan lingkungan dakwah.
Bahkan generasi tua dianggap kolot dan tidak adaptif, sedangkan generasi muda dicitrakan progresif, kritis, dan individualis, banyak remaja dan orang tua tidak lagi nyambung dalam pembahasan nilai-nilai moral dan agama, bahkan anak lebih percaya konten influencer ketimbang nasihat ulama. Sampai kebanyakan dari mereka beranggapan, bahwa nilai-nilai Islam dianggap mengekang dan ketinggalan zaman.
Yang lebih membahayakan lagi, maraknya fenomena mental illnes”pengembara identitas”juga membuat kaum muda mencari makna hidup dalam dunia maya, bukan dalam hubungan spritual dengan Allah SWT, ditambah dominasi algoritma yang mana konten hiburan dan liberal terus diangkat karena dianggap lebih aman bagi iklim kapitalisme, sedangkan konten Islam seringkali disembunyikan (shadow banned).
Media Global juga seringkali sengaja menciptakan narasi konflik, ali-alih melihat interaksi generasi sebagai proses dinamis, mereka justru kerap mempromosikan kesenjangan tajam dan tidak dapat didamaikan. Sehingga muncullah narasi perpecahan yang menarik perhatian, seperti;”avocado toast “untuk kalangan milenial,”OK boomer”untuk generasi yang lebih tua,”generasi stroberi”bagi kalangan gen Z. Inilah melalui media digital, narasi tentang generation gap yang awalnya berbasis di barat, sekarang sudah menyebar luas ke seluruh dunia termasuk negeri-negeri muslim.
Dalam kondisi demikian makin sulit upaya untuk membentuk generasi yang berkepribadian Islam. Generasi yang tidak dibekali tsakofah Islam secara lengkap tentu akan kehilangan peta kehidupan, yang jelas dan rentan tertarik gaya hidup yang bukan dari Islam, hal yang diinginkan oleh Barat, ini jadi titik krisis yang perlu segera disikapi.
Tsakofah umat merupakan pembentukan kepribadian individu-individu umat. TSaqofahlah yang membentuk aqliyah (pola pikir), individu dan metode penetapan hukum atas suatu benda, perkataan, dan perbuatan. TSaqofah juga membentuk kecenderungan individu yang selanjutnya akan mempengaruhi pola pikir, pola jiwa, dan pola sikap dalam berperilaku. Oleh karenanya, penjagaan dan penyebaran tsaqofah umat di tengah masyarakat adalah termasuk tanggung jawab yang utama bagi negara.
Tentu saja, negara Islam juga akan secara serius menanamkan tsaqofah ke dalam diri anak-anak umat, juga mencegah siapapun yang menyerukan pemikiran selain Islam di dalam negeri, serta mengemban tsaqofah Islam ke negara dan bangsa lain melalui dakwah dan jihad.
Islam juga tidak membedakan manusia, berdasarkan generasi sebagaimana teori Barat, melainkan berdasarkan iman, ilmu, dan amal. Bahkan sistem Islam memiliki mekanisme dan strategi pendidikan yang sangat terperinci yang bisa mengarahkan potensi setiap lapisan usia, mulai dari yang baru lahir hingga generasi tua agar tetap teguh di atas aqidah dan syariat Islam.
Bagaimanapun Islam memang tidak menolak adanya perbedaan usia atau perubahan zaman, tetapi Islam secara tegas menolak keputusan nilai antar generasi. Bahwa setiap muslim, baik tua atau muda, terikat dengan satu panduan yang sama. Yaitu; wahyu Allah SWT. Perbedaan usia tidak dipandang sebagai kesenjangan, melainkan kekuatan untuk saling melengkapi.
Allah SWT berfirman : “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (TQS.Ali- Imran: 110).
Umat muslim adalah generasi yang terbaik, yang diciptakan Allah SWT. Harus mendapatkan pembinaan yang berfokus pada dua aspek; yakni, Aqliah Islamiyah (pola pikir Islam), bukan trend digital. Dan Nafsiyah Islamiyah (pola sikap Islam) yang tunduk pada hukum syara. Maka dari itu, solusi hakiki bagi generation gap dan krisis identitas ini adalah; pengimplementasian syariat Islam Kaffah di semua bidang.
Adapun media dan teknologi akan dikontrol negara dan dikendalikan agar menjadi sarana dakwah, bukan alat hegemoni kaum sekuler kapitalis. Penguasaan sarana sosial dan aspek digitalisasi juga diarahkan agar umat, “khususnya generasi muda”tidak sekedar menjadi objek, melainkan pelaku perubahan dan pencetak kegemilangan peradaban Islam, maka sudah saatnya menghilangkan generation gap ini, menggantinya dengan rantai perjuangan dakwah dari satu generasi ke generasi selanjutnya, hingga terwujud kehidupan yang rahmatan lil alamin. Insya Allah.
Wallahu a’lam bishawwab.







