Marak Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, Islam Memberi Solusi

Oleh: Muryani

Kekerasan seksual di perguruan tinggi masih menjadi persoalan serius di Indonesia. Kekerasan seksual baik verbal, fisik, maupun nonfisik makin meningkat. Pada 2022, terdapat 4.660 kasus kekerasan seksual di Indonesia, 27% terjadi di kampus. Berarti ada 1.258 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi pada 2022. Berdasarkan data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) RI, per April 2024 sudah terjadi 2.681 kasus.

Data di atas sejatinya belum mencerminkan kondisi riil. Banyak korban yang memilih diam dan tidak melaporkan kasusnya. Banyak alasan korban tidak melapor. Takut disalahkan, tidak percaya, disudutkan oleh lingkungan sosialnya, hingga minimnya kepercayaan terhadap mekanisme internal kampus membuat sebagian besar kasus tidak pernah dilaporkan. Kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak daripada yang dilaporkan.

Pemerintah mengeluarkan Permendikbudristek 30/2021 yang mengharuskan setiap kampus membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Disusul regulasi terbaru, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) 55/2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Pembentukan Satgas PPKS ditujukan untuk mewujudkan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan PT. Kehadiran Satgas PPKS diklaim akan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual.

Faktanya,  Meski satgas PPKS telah terbentuk di PT, tidak serta merta mampu menyelesaikan masalah. Contoh Tim Satgas PPKS UI yang dibentuk pada September 2022, setelah dua tahun menjalankan tugas, memilih mengundurkan diri. Mereka merasakan ketidaksiapan kampus dalam menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung kerja satgas, ketidakpastian anggaran, dan tidak adanya dukungan moral dari pihak universitas. Satgas dibiarkan bekerja sendiri tanpa dukungan dari kampus.

Dari fakta di atas saja, kita bisa membaca bahwa satgas PPKS bukan solusi menghilangkan kekerasan seksual di kampus. Bagaimana mungkin bisa menjadi solusi jika yang ditangani hanya yang melapor, bukan pelaku. Terlebih satgas PPKS hanya menangani aspek permukaan, bukan menelusuri akar masalah kekerasan seksual untuk kemudian diselesaikan sehingga tercipta lingkungan kampus yang aman, nyaman, dan terbebas dari kekerasan seksual.

Berbagai upaya untuk menyelesaikan masalah kekerasan seksual di lingkungan PT belum membuahkan hasil karena penerapan sistem sekuler kapitalisme yang melahirkan perilaku liberal.

Sistem pendidikan nasional tidak menjadikan Islam sebagai asas. Akibatnya, lahirlah pendidikan yang miskin iman, meskipun cerdas secara keilmuan. Pendidikan sekuler tidak bisa memahami mana perbuatan benar dan salah sehingga banyak akademis dengan berbagai gelar menjadi pelaku/ korban pelecehan dan kekerasan seksual di kampus.

Kebebasan media dalam menyebarkan pornografi dan pornoaksi menjadi pemicu bangkitnya naluri seksual yang sering kali berujung pada tindakan kekerasan seksual.

Sanksi yang diberikan sifatnya hanya sanksi administrasi ringan berupa teguran tertulis dan permintaan maaf (Pasal 14 ayat 2) sampai sanksi berat, yaitu pemberhentian tetap sebagai mahasiswa, tenaga pendidik, maupun tenaga kependidikan (Pasal 14 ayat 4). Sanksi seperti ini tidak akan mampu mencegah dan menyelesaikan masalah kekerasan seksual dan tidak mampu memberikan perlindungan kepada perempuan dari tindak kekerasan seksual. Kampus yang seharusnya menjadi tempat mencetak generasi beradab, gagal memberi ruang aman dari kekerasan seksual.

Problem ini, penyelesaiannya  hanya sistem Islam dengan seperangkat aturannya yang mampu melindungi perempuan dari kekerasan seksual. Perlindungan itu dilakukan secara preventif maupun kuratif. Secara preventif, Islam mencegah terjadinya kekerasan seksual melalui penerapan sistem pendidikan dan sistem pergaulan Islam.

Pendidikan di dalam Islam bertujuan untuk membentuk muslim yang bertakwa serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bekal untuk kehidupan di dunia. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamu al-Islam hlm. 132 menjelaskan, ”Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islam. Mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun berdasarkan asas tersebut. Politik pendidikan adalah membentuk pola pikir dan pola jiwa islami. Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.

Islam mewajibkan negara (Khilafah) untuk menyediakan pendidik dan tenaga kependidikan yang berkualitas, amanah, kompeten, memiliki kerja yang baik, serta mampu menjadi teladan bagi peserta didik.

Khalifah sebagai pemimpin negara Islam wajib menetapkan kebijakan untuk menerapkan sistem pendidikan Islam dan menjamin pelaksanaannya. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan kesiapan negara Khilafah dalam merancang dan melaksanakan politik pendidikan serta menyediakan fasilitas pendidikan, target membentuk generasi bertakwa, menguasai tsaqafah Islam, sekaligus ilmu kehidupan bukan perkara yang sulit. Ketakwaan ini akan menjadi benteng yang kukuh saat menjalani kehidupan baik di rumah, sekolah/kampus, maupun masyarakat.

Khilafah akan menjaga kesucian dan martabat perempuan di ruang publik dengan menerapkan sistem pergaulan Islam. Khilafah akan menetapkan larangan ikhtilat (campur baur) kecuali terdapat keperluan syar’i. Ini sebagaimana termaktub dalam pasal 113 Rancangan Undang-Undang Dasar Islam, “Hukum asal kehidupan laki-laki terpisah dengan perempuan. Mereka tidak dapat berkumpul, kecuali terdapat suatu keperluan hidup yang dibolehkan syarak atau mengharuskannya berkumpul, seperti ibadah haji dan jual beli.”

Pemisahan kehidupan laki-laki dan perempuan ini tampak pada larangan khalwat (berdua-duaan) dan larangan ikhtilath pada laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah sekali-kali bersendirian dengan seorang perempuan yang bukan mahram karena yang ketiganya adalah setan.” (HR Ahmad).

Khilafah juga mengatur pergaulan perempuan. Pada pasal 117 Rancangan Undang-Undang Dasar Islam disebutkan, “Perempuan bergaul dalam kehidupan khusus maupun umum. Di dalam kehidupan umum perempuan boleh bergaul bersama kaum perempuan, atau laki-laki baik yang mahram maupun bukan mahram, selama tidak menampakkan auratnya kecuali wajah dan telapak tangan, tidak tabaruj, dan tidak menampilkan lekuk tubuhnya. Di dalam kehidupan khusus tidak boleh bergaul kecuali dengan sesama kaum perempuan atau dengan kaum laki-laki yang menjadi mahramnya. Tidak dibolehkan bergaul dengan laki-laki asing (bukan mahram). Di dalam kedua macam kehidupan itu, seorang perempuan harus tetap terikat dengan seluruh hukum syarak.”

Selain itu, ada kewajiban untuk menutup aurat dan menundukkan pandangan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah SWT berfirman, “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya.” (QS An-Nur [24]: 30). Juga firman-Nya, “Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya).” (QS An-Nur [24]: 31).

Negara juga akan mengontrol ketat seluruh tayangan maupun materi pemberitaan media sehingga masyarakat tidak akan mudah mengakses situs-situs porno yang memicu perilaku seks bebas dan kekerasan seksual. Media berfungsi untuk mencerdaskan masyarakat, membuat mereka taat, dan menjauhi tindakan terlaknat. Khilafah akan melarang peredaran konten yang tidak islami (termasuk konten pornografi dan pemikiran sekuler liberal) di media apa pun, termasuk medsos. Aparat keamanan siber Khilafah akan melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap keberadaan konten yang tidak islami, membersihkannya, dan memberi sanksi tegas kepada pelaku berupa takzir yang jenisnya diserahkan berdasarkan ijtihad khalifah atau kadi.

Untuk perlindungan kuratif, Khilafah akan menerapkan sanksi yang menjerakan bagi pelaku kekerasan seksual. Islam menetapkan bagi pelaku kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, kriminalitas, dan sejenisnya dengan hukuman sesuai syariat Islam.

Khilafah menerapkan sistem sanksi Islam bagi pelaku pelecehan seksual sesuai dengan jenis perbuatannya. Jika terjadi pemerkosaan, seluruh fukaha sepakat bahwa perempuan yang diperkosa tidak dijatuhi hukuman zina, baik hukuman cambuk 100 kali maupun hukuman rajam. Adapun sanksi bagi laki-laki pelaku pemerkosaan, jika korban (perempuan) mempunyai bukti perkosaan, yaitu kesaksian empat laki-laki muslim atau jika laki-laki pemerkosa mengakuinya, laki-laki itu dijatuhi hukuman zina, yaitu dicambuk 100 kali jika dia bukan muhshan (belum menikah) dan dirajam hingga mati jika dia muhshan (sudah menikah). (Syekh Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu Juz 7 hlm. 358).

Sistem sanksi yang tegas ini akan mewujudkan efek jera bagi pelaku dan memastikan terwujudnya keadilan bagi korban sehingga menutup celah adanya pelaku dengan kasus serupa. Ketakwaan individu, masyarakat yang peduli terhadap kebaikan bersama dengan melakukan amar makruf nahi mungkar, disertai penerapan hukum syariat secara kafah oleh negara akan mampu menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan. Perempuan pun terhindar dari kekerasan seksual di kampus maupun di masyarakat. Sudah saatnya umat Islam mewujudkan penerapan syariat Islam kafah sehingga kekerasan seksual akan terselesaikan secara tuntas. ***

mgid.com, 522927, DIRECT, d4c29acad76ce94f google.com, pub-2441454515104767, DIRECT, f08c47fec0942fa0