Oleh : Eci Anggraini, Pendidik Palembang
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi mengungkapkan dalam periode Agustus 2024 hingga Februari 2025 terjadi pengurangan tenaga kerja secara signifikan. Berdasarkan data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat 939.038 pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di 14 sektor usaha berdasarkan klasifikasi KBLI. Pada periode yang sama, penyerapan tenaga kerja tercatat tumbuh sebanyak 523.383 orang. Dengan demikian, secara total terjadi pengurangan tenaga kerja sebanyak 415.655 orang. “Pengurangan tenaga kerja tersebut paling banyak terjadi di sektor tekstil,” ujar Ristadi dalam keterangan resmi yang diterima Media Indonesia, Jumat, 8 Agustus 2025.
Ia menilai ancaman gelombang PHK masih akan terus membayangi apabila barang-barang impor murah terus membanjiri pasar domestik, apalagi di tengah menurunnya tingkat konsumsi dalam negeri. Penurunan ini tidak hanya terjadi pada konsumsi rumah tangga, tetapi juga belanja pemerintah terhadap industri barang dan jasa yang aktivitas bisnisnya bergantung pada permintaan domestic, (Metro TV, Jumat, 08/08/2025).
Negeriku tidak butuh retorika “merdeka” dari penguasa yang abai terhadap rakyatnya dan senantiasa berdiri bersama pengusaha. Negeriku tidak butuh retorika “merdeka” dari kaum intelektual yang telah terbeli oleh harta. Negeriku hanya butuh kemerdekaan hakiki yang mampu mengeluarkannya dari seluruh permasalahannya.
Sungguh, ketiadaan moncong senjata penjajah pada negeri ini bukan berarti kita telah merdeka seutuhnya. Ketertundukan pada sistem kufur, penjajahan budaya, kelaparan, kemiskinan, kebodohan, dan setumpuk problematik yang diidap, semua itu tetap ada, bahkan keberadaannya makin ter-mutajasad pada kehidupan masyarakat.
Sejatinya, kemerdekaan hakiki adalah saat kita terlepas dari belenggu kekufuran. Individunya berperilaku benar sesuai keyakinannya, yaitu ajaran agama Islam. Masyarakatnya berpola pikir dan memiliki gaya hidup yang terlepas dari kungkungan budaya selain Islam. Negaranya terbebas dari penjajahan, baik fisik, politik, ekonomi, dan budaya. Juga menerapkan aturan Allah Taala secara kafah dalam setiap kebijakannya.
Individu yang merdeka adalah yang terbebas dari belenggu kekufuran. Ia berperilaku benar sesuai syariat Islam tanpa ada tekanan ataupun arus yang secara sistem menyesatkan. Individu harus terbebas dari perbudakan modern, yaitu arus yang diciptakan Barat untuk menyeret umat ke dalam kehidupan yang sesuai dengan kepentingan kafir penjajah.
Individu yang merdeka adalah ia yang terbebas dari pemahaman kufur, seperti sekularisme, liberalisme, kapitalisme, sosialisme, komunisme, pluralisme, sinkretisme, dan lainnya. Ia seharusnya mampu berpikir mengenai asal usul kehidupan dan seluruh ciptaan-Nya yang seluruhnya itu akan mengantarkan pada keimanan yang kuat dan produktif.
Individu yang merdeka adalah ia yang berkepribadian Islam dan berpola pikir berlandaskan akidah Islam, yaitu bahwa Allahlah yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan seluruh alam raya. Ia juga berpola sikap yang senantiasa terbingkai oleh takwa, yaitu menaati seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.
Namun kenyataannya, rakyat masih terbelenggu dengan pemikiran kufur. Sekularisme masih menjadi ideologi yang diembannya. Liberalisme masih menjadi pijakannya dalam bertingkah laku. Pluralisme bahkan sinkretisme malah masif disebarkan. Bukankah ini semua menandakan individu belum merdeka?
Sementara itu, masyarakat yang merdeka adalah masyarakat yang terbebas dari budaya kufur. Kehidupannya terpelihara dari nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. Mereka pun memiliki pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama. Tujuan hidup mereka adalah semata menggapai rida Allah Taala.
Mereka pun harus memiliki perasaan marah tatkala nilai-nilai Islam “teramputasi”. Pada saat yang sama, mereka merasa bahagia tatkala nilai-nilai Islam diterapkan. Tolok ukur perbuatan mereka adalah halal dan haram sehingga apa pun maslahat yang didapat, jika semua itu tidak halal, tidak akan mereka lakukan. Sebaliknya, mereka akan melaksanakan syariat walaupun maslahat tidak tampak di hadapan mata seorang manusia.
Aturan pun harus terbebas dari campur tangan manusia sebab aturan yang pas untuk manusia hanyalah aturan dari Sang Pencipta. Manusia hanya mampu menggali hukum, bukan membuatnya. Kebahagiaan tertinggi mereka adalah ketika syariat Islam diterapkan dengan sempurna dalam satu institusi. Oleh sebab itu, mereka akan makin khusyuk dalam beribadah pada Allah Taala dan makin bersemangat mengerjakan amal kebaikan.
Namun, sekali lagi, kenyataannya masyarakat Indonesia masih terbelenggu dengan nilai-nilai kufur. Kebebasan tingkah laku, seperti L687, malah dipropagandakan. Sedangkan ceramah-ceramah Islam justru dibatasi. Citayam Fashion Week diapresiasi, sedangkan pengajian massal Malioboro dipersekusi. Bukankah masyarakat seperti ini belum merdeka?
Untuk skala negara, bisa disebut merdeka apabila terbebas dari penjajahan fisik, politik, ekonomi, juga budaya. Negara yang terbebas dari penjajahan politik adalah negara yang bebas menentukan segala kebijakan, independen, dan tidak ada tekanan dari asing. Para penguasanya bisa leluasa menetapkan kebijakan yang bermaslahat bagi rakyatnya.
Sayangnya, demokrasi yang menjerat sistem politik negeri ini hanya akan menyisakan para penguasa komprador yang bekerja berdasarkan pesanan tuannya. Politik transaksional yang terjalin antara pengusaha dan penguasa melahirkan kebijakan yang tidak pernah memihak rakyat.
Kemudian, maksud dari terbebas dari penjajahan ekonomi adalah negara terlepas dari berbagai perjanjian dagang dan utang luar negeri. Ini karena sejatinya, kedua hal tersebut merupakan alat penjajahan negara makmur untuk makin menghegemoni negara miskin.
Negara pun harus mandiri dalam mengelola SDA-nya agar kepemilikan aset tidak berpindah pada swasta asing. Namun nyatanya, kapitalisme telah menjerat negeri ini untuk masuk pada perjanjian dagang yang tidak pernah menguntungkan rakyatnya. Sistem ini pula yang menyebabkan utang kian membengkak tersebab “rentenir dunia” selalu menyodorkan “bantuan” yang tidak pernah gratis.
Selain itu, kebebasan kepemilikan yang diatur dalam sejumlah regulasi juga menjadikan mayoritas SDA dikuasai swasta asing. Jadilah negara tidak memiliki dana untuk menjalankan negara dan proses pembangunannya. Satu-satunya solusi dalam menambal defisit negara adalah utang dan pajak. Bukankah ini artinya negara tersebut belum merdeka?
Wahai kaum muslim, mari kita renungkan untuk kesekian kalinya mengenai hakikat kemerdekaan. Janganlah memejamkan mata dan menutup telinga terhadap yang menimpa negaramu dan orang-orang di sekitarmu. Sungguh, tidak ada yang tersisa kecuali kemalangan yang amat besar. Persoalan demi persoalan tidak kunjung usai. Di tengah kefakiran mereka, kekufuran makin bersemayam.
Oleh karenanya, wahai kaum yang berpedoman pada Al-Qur’an, sesungguhnya Allah Taala telah memerintahkan kita untuk berusaha mengubah nasibnya sendiri (lihat QS Ar-Ra’d: 11). Allah Taala telah menjanjikan kemenangan pada umat Islam dengan sebenar-benarnya kemenangan, yaitu borbondong-bondongnya manusia masuk ke dalam Islam (lihat QS An-Nasr: 1—3).
Sungguh, Rasulullah telah memerinci apa saja yang harus dilakukan dalam berjuang mengembalikan kehidupan Islam. Sebagaimana Rasulullah saw. berdakwah hingga kehidupan kufur di Makkah berubah menjadi kehidupan Islam yang ditandai dengan penegakan satu institusi yang menerapkan Islam kafah di Madinah. Kemudian para sahabat melanjutkan perjuangan beliau dengan menegakkan Khilafah hingga mampu menguasai 2/3 bagian dunia.
Inilah kemerdekaan hakiki, yakni saat manusia terbebas dari kekufuran. Kehidupan masyarakatnya terbebas dari nilai-nilai selain Islam dan negaranya terbebas dari dikte pihak luar. Inilah yang akan mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan dan ketinggian peradabannya. Wallahualam bissawab.